Saya sangat mensyukuri dua hal. Pertama, telah lahirny satu Genre Baru Masyarakat kaligrafi yang otentik dan orisinal, 40 tahun terahir ini di Indonesia melalui berbagai peristiwa kreativitas sejumlah "penggodogan" dalam transformasi kaligrafi yang melesat terbang menuju puncak keindahan. Apalagi dengan lahirnya pesantren dan sanggar -sanggar kaligrafi di Indonesia beberapa tahun ini. Sebut saja Pesantren LEMKA Sukabumi, PSKQ Modern ( Pesantren Seni Rupa dan Kaligrafi Al Quran Kudus), Sanggar Kaligrafi SAKAL Jombang, diramaikan pula dengan lahirnya Jasa-jasa Kaligrafi Profesional seperti: CV. Assiry Art Kudus, Noqtah Art Jakarta, Aufa Art KalSel, Farras Art Kudus, Jawas Art Makasar, dan banyak lainnya yang tidak bisa saya sebut satu persatu bagai jamur di musim hujan.
Syukur saya yang kedua karena hari ini saya masih diberikan Allah nikmat kesehatan dengan terus bisa berbagi ilmu di PSKQ Modern dan menebar virus-virus kaligrafi di bumi pertiwi yang begitu saya cintai.
Akan tetapi saya menekan diri saya sendiri untuk bersabar dengan terlebih dahulu bercerita tentang Rajawali, sebab ada kemungkinan Sang Rajawali itu terdapat pada Genre kaligrafer baru itu.
Burung Rajawali itu oleh Tuhan dikasih rangsum atau jatah usia relative sama dengan umumnya makhluk manusia, yakni 60-80an tahun, naik turun.
Kalau kita para pecinta kaligrafi atau para Seniman Kaligrafi menggunakan wacana “katuranggan” dan menemukan dirinya adalah Rajawali, bukan burung emprit (red: pipit) atau sekurang-kurangnya ia menemukan potensi Rajawali di dalam dirinya : maka ia tinggal bercermin pada burung itu, karena hidup pada irama dan skala waktu yang relative sama bagi umur kita.
Kaligrafer Indonesia memiliki potensial untuk “hamengku” alias sikap memangku berbagai formulasi peradaban seni di dunia. Disuruh apa saja bangsa kita bisa mengikutinya, profesi apa saja Indonesia adalah tempatnya. Bangsa kita adalah bangsa yang besar soal kita sekarang acak -acakan dan berkeping-keping dibidang apapun itu anggaplah bagian dari "jihad" dan proses Rajawali bertransformasi menjelma Garuda yang perkasa secara ilmu, kebudayaan dan seni yang adiluhung itu.Tidak terasa 40an sudah berlalu kiprah perkembangan kaligrafi di Indonesia menemukan eksistensinya dan berkembang pesat sejak dimasukkan kedalam cabang lomba MTQ Nasional.
Pada usia 40 tahun, burung Rajawali terbang ke gunung jauh, mencari batu karang, memilih yang paling baja dari bebatuan itu, mematuknya, menggigitnya, sekeras-kerasnya, sekuat-kuatnya, dan takkan dilepaskanya sampai paruhnya tanggal dan lepas dari mulut dan kepalanya meskipun berdarah -darah dan tentu merasakan puncak kesakitan yang tiada tara.
Demikian juga cakar-cakar kedua kakinya. Ia cengkeramkan ke batu paling keras dari karang, dengan daya cengkeram sekali seumur hidup, dan takkan dibatalkanya sampai lepas tanggal kuku-kukunya dari jari-jemari kedua kakinya.
Kemudian dia akan kesakitan, tergeletak, terbang dengan lemah, hinggap di seberang tempat tanpa kekuatan untuk berpegang. Rajawali mengambil keputusan untuk menderita, untuk mereguk sakit dan kesengsaraan, sampai akhirnya hari demi hari paruh dan kuku-kukunya tumbuh kembali.
Nanti setelah sempurna pertumbuhan paruh dan kuku-kuku barunya, maka barulah itu yang sejati bernama bernama paruh dan kuku-kuku Rajawali, yang membuatnya pantas disebut Garuda.
Tariklah garis pengandaian: Rajawali itu adalah Anda atau kita para pecinta dan penggiat Kaligrafi di tanah air. Sesungguhnya yang anda lakukan adalah, pertama : keberanian mental, ketahanan jasad, ketangguhan hati dan keikhlasan rohani untuk menyelenggarakan perubahan yang bukan hanya mendasar dan mengakar, melainkan ekstra-eksistensial mulai dari metode belajar, pola pembinaan, dan bermacam -macam strategi untuk menumbuhkan kembali budaya kaligrafi yang pernah ada di bumi Nusantara ini dengan bukti sejarah masa silam ketika ditemukan kaligrafi kufi pada makam Fatimah binti Maimun sekitar abad ke 11.
Banyak orang mengatakan bahwa garuda adalah rajawali raksasa yang telah melalui masa transormasinya. Setidaknya Rajawali memiliki 7 ( tujuh) keperkasaan Sang Garuda:
1. Rajawali Terbang Bersama Kelompoknya.
2. Rajawali Tetap terfokus kepada visinya dan tidak terpengaruh dengan hambatan apapun.
3. Rajawali Tinggalkan misi lama dan mulai misi baru.
4. Rajawali Menghadapi tantangan untuk mencapai keinginan yang lebih tinggi.
5. Rajawali Berjuang menghadapi ujian/cobaan untuk tetap berkomitmen.
6. Rajawali Memprioritaskan kehidupan keluarga dng komitmen & tanggung jawab kpd keluarga.
7. Rajawali Harus membuang kebiasan dan sikap negatif dan terus membangun karakter.
Pengambilan keputusan Anda sebagai Rajawali itu tidak mempersyaratkan sekedar keputusan hati, tapi juga keputusan akal dan nalar dengan pengetahuan yang sempurna tentang alur waktu ke depan untuk membumikan kaligrafi di nusantara ini. Keputusan itu bukan sekedar tindakan mental, tapi juga intelektual dan pengejawantahan ide/gagasan juga rohaniah. Kita bisa betul -betul menjadi Rajawali yang diakui dan digelari Sang Garuda karena mengerti dan berani betapa beratnya menyangga kalimat sehari-hari yang sederhana yakni “mati sakjroning urip” ( mati didalam hidup) artinya membunuh ego dan kemalasan dan menghidupkan kreativitas didalam diri kita disaat masih memilki kesempatan untuk lebih baik bagi keberlangsungan kehidupan berkesenian.
Caranya adalah dengan meninggalkan kebiasaan buruk kita yang cepat puas dengan hasil yang dicapai dalam proses belajar seni kaligrafi dan unsur -unsur pendukungnya.
Baru setahun belajar kaligrafi misalnya tiba-tiba sudah menganggap dirinya sebagai garuda padahal sesungguhnya masih emprit ( red: pipit). Ini yang celaka.
Perlu kesadaran baru, perlu adanya mindset baru, perlu pembenahan entah itu sistem MTQ Kaligrafi yang melulu seperti itu -itu saja atau apapun yang berkenaan dengan kaligrafi yang sesungguhnya sangat monoton atau mengalami sedikit merangkak secara kualitas.
Kita terkungkung dalam salah sangka dan terus tertipu terhadap perkembangan kaligrafi secara kuantitas di Indonesia yang terlihat seolah -olah semakin marak berkembang dengan menelurkan ribuan generasi -generasi kaligrafer yang diharapkan menjadi Garuda kaligrafi indonesia tanpa lagi melihat balance yang juga harus diiringi bobot dari kualitas karyanya . Ketika ribuan generasi kaligrafer yang kita bangga -banggakan itu disejajarkan dengan para Master Kaligrafi Dunia dengan event Lomba kaligrafi tingkat Dunia misalnya ternyata kita sadar bahwa kita masih seekor "emprit".
Dalam konteks bernegara kita bukannya bertransformasi seperti Rajawali ketika memantaskan diri untuk menjadi garuda tapi dihukum oleh salah kaprahnya tata kelola pemerintahan ini dengan memiliki kekayaan alam yang melimpah dan harus membeli sangat mahal hasil kekayaan kita sendiri, setelah kita sewa para tetangga mancanegara untuk mengolah kekayaan itu dengan bayaran yang harus kita tanggung dengan menelan kenyataan bahwa kekayaan itu ternyata akhirnya menjadi milik mereka.
Bangsa ini sungguh-sungguh memerlukan “pengambilan keputusan yang cerdas dan tepat sasaran untuk membuang paruh dan kuku Rajawalinya”.
Namun lihatlah, potensi untuk itu betapa rendahnya, kecuali pada Anda semua mulai saat ini berubah dan berbenah pada fungsi sebagai Garuda Indonesia dan meninggalkan mental "emprit" atas segala aspek kehidupan berbangsa dan bernegara.
0 komentar:
Posting Komentar