“… pesantren itu selama ini disebut pendidikan tradisional, iku kurang ajar tenan. Terus sing tradisional ki dianggep luweh rendah timbangane sekolah modern. Aku kepengen ngomong, eh tak kandani yo, pesantren itu mulai ditiru wong sak donyo saiki. Besok sak donyo ki pesantren kabeh ” – Cak NunKetika banyak orang dengan bangga mengatakan ‘saya alumni ITB, ITS, UI, UGM, UB’ atau ‘saya alumni kampus luar negeri’, entah mengapa, meskipun saya alumni salah satu kampus tersebut, saya jauh lebih bangga mengatakan ‘saya alumni pondok pesantren’. Buat saya, pesantrenlah yang telah banyak mendefinisikan bagaimana saya memandang dan menjalani hidup dan kehidupan ini. Buat saya, pesantren bukanlah sekedar sekolah biasa. Buat saya, mondok di pesantren adalah masuk kawah candra dimuka sekolah kehidupan. Dari bilik-bilik sederhana di pesantren itulah, saya temukan nilai-nilai kebajikan hidup yang terus jadi pegangan hidup hingga saat ini. Dari wajah-wajah yang sejuk dipandang dari para kiai itulah, saya temukan inspirasi hidup bak lentera yang tak pernah padam di dalam jiwa. Dari do’a-do’a tulus para ustad, ustadzah, pak yai, dan bu nyai itulah, saya rasakan kebarokahan hidup hingga saat ini.
Di jaman ketika semua ada label harganya. Di jaman ketika rupa dan angka dipuja. Miris rasanya, merenungi sekolah dan universitas tak ubahnya seperti pabrik-pabrik yang memproduksi produk masal. Mencetak manusia-manusia setengah robot yang nyaris kehilangan sisi-sisi kemanusianya, yang nyaris mati sisi-sisi spiritual nya. Manusia-manusia yang dituntut seragam kompetensinya, dan sesuai standard kebutuhan industri-industri pengeruk keuntungan materialistis. Manusia-manusia yang pada akhirnya menuhankan makhluk bernama Uang. Sehingga rela menyerahkan apapun, termasuk kehormatan dan harga dirinya hanya untuk Uang. Argh, sungguh, pendidikan sudah kehilangan ruh pendidikan yang seharusnya memanusiakan manusia. Disitulah, saya merasa orang paling beruntung di dunia, karena pernah mondok di pesantren.
Kebanggan saya akan pesantren makin bertambah, justru ketika saya mengenyam pendidikan di Inggris. Betapa kagetnya saya ketika saya tahu ainul yaqin bahwa ternyata dua kampus terbaik di Inggris, dan terbaik di dunia, Universitas Oxford dan Universitas Cambridge ternyata sistem pendidikanya sama persis dengan sistem pendidikan di pesantren. Memasuki kompleks dua kampus ini tak ubahnya memasuki kompleks pesantren, kebetulan saya pernah berkesempatan nyantri kilat, sekolah musim panas selama seminggu di Universitas Cambridge dan pernah berkunjung di Universitas Oxford. Jangan kira, sampean akan menemukan tulisan besar University of Cambridge atau University of Oxford seperti kampus-kampus di Indonesia. Di komplek dua kampus ini, sampean akan menemukan kumpulan college-college yang tak ubahnya asrama-asrama di pesantren. Di setiap college, terdapat sebuah gereja, lecture hall, dining room, dan asrama yang diketuai seorang profesor yang paling berpengaruh di college tersebut. Yang tak jauh bedanya dengan asrama santri dengan masjid, tempat mengaji, pemondokan, kantin yang diasuh oleh kyai. Tak hanya penampakan fisik, sistem pendidikanya pun tak ubah sistem sorogan dan bandongan di pesantren.
Ilustrasi: Senyum Santri Putri Darul Ulum Jombang |
Kadang kita memang sering merasa inferior melihat punya orang lain, padahal kita telah memiliki sesuatu yang lebih baik. Kata pepatah Jawa, golek uceng kelangan delek. Kejadian serupa, ketika berada di stasiun kereta Api Rotterdam Central, Belanda, saya tidak sengaja bertemu dengan seorang mahasiswa Indonesia yang sedang belajar seni musik di salah satu kampus di Rotterdam. Seorang kawan tadi bilang: ” Waduh mas, tahu ndak Gamelan itu diakui dunia sebagai alat musik paling intuitive di dunia, karenanya gamelan adalah ‘mainan’ baru yang sangat menarik bagi para ilmuwan seni musik, ketika mereka sudah mencapai titik jenuh, stagnansi dengan seni musik modern barat.
Argh, ternyata benar seperti yang dibilang Cak Nun, ternyata pesantren adalah sistem pendidikan asli Indonesia yang luar biasa. Sistem pendidikan terbaik yang bahkan Oxford dan Cambridge pun menirunya. Sayang, di negeri sendiri, pesantren malah dimarginalkan. Sama halnya, gamelan yang dianggap tradisional dan terpinggirkan di negeri sendiri. Padahal, di seluruh dunia orang-orang berbondong-bondong belajar musik gamelan. Entahlah. Terkadang saya susah untuk mengerti.
Sudah saatnya kita sadar dan bangga dengan milik kita sendiri, bangga mewarisi kearifan para leluhur kita. Sudah saatnya kita berhenti menjadi bebek yang selalu ikut kemana arus dunia berjalan. Karenanya, untuk adik-adik muda, dan para orang tua yang tak ingin sekedar pemuja rupa dan angka, cukup hanya dua kata: Ayo Mondok !
0 komentar:
Posting Komentar