Istilah “Masyarakat Madani” sejak lama slogan ini diucapkan oleh semua orang, dari Presiden sampai Ketua RT, dari veteran sampai ABG, dari sarjana sampai tukang becak, dari waria sampai ormas-ormas agama.
Sehingga pernah suatu waktu para waria demo tentang transgender juga mengangkat tema "menjadikan masyarakat waria madani".
Dalam ruang berfikir saya mungkin yang dimaksud saudara kita para waria adalah mereka ingin transgender tidak dipersoalkan sehingga mereka bisa hidup bebas tanpa tekanan dengan landasan HAM sebagai acuannya.
Tapi disisi lain para Kiyai memplesetkan bahwa waria madani itu artinya waria yang menjadi "center of madani". Madani disini dalam bahasa jawa diterjemahkan dengan" diledekin atau dihinakan".
Akhirnya mereka bukannya dihormati sebagai mkhluk Allah dan juga dimanusiakan ( diwongke) tetapi malah dihujat dan didiskriminasikan keberadaannya.
Slogan madani itu persis sebagaimana kaum terpelajar dulu yang membohongi rakyat dengan istilah “Tinggal Landas”, “Era Globalisasi” dan lain-lain, yang ditahayulkan dan menguap di angkasa waktu.
Sesungguhnya Masyarakat Madani bersumber dari Masyarakat Maddaniyah atau Madinah Al Munawwaroh. Dengan demikian bukan Masyarakat Masihiyah ( masehi) yang dibangun oleh Rasulullah Muhammad saw, sesudah beliau dengan pengikutnya berhijrah dari Mekah untuk bertempat tinggal di Madinah. Ketika itu belum ada “state” dengan konstitusinya, sehingga kedatangan masyarakat penghijrah yang disebut Kaum Muhajirin tidak mengalami resiko konstitusional yang berkenaan dengan paspor dll, ketika kemudian harus memasuki “negara” lain dan hidup bersama tuan rumahnya yang disebut Kaum Anshor itu.
Sekurang-kurangnya ada tiga substansi clan peristiwa Hijrah itu.
Pertama, momentum hijrah itulah yang dipakai untuk menandai satuan waktu, awal tahun dan abad Islam, “Ilmu”nya di sini terletak pada kenyataan bahwa bukan hari atau tahun kelahiran Muhammad saw. yang dipakai sebagai patokan awal abad Islam, sebab fokus ajaran Islam tidak pada Muhammad, melainkan pada ajaran Allah yang dititipkan melalui ia. Islam tidak bersikap feodal dan veded-interest dengan memonumenkan Muhammad sebagai manusia, karena yang terpenting adalah kasih sayang Allah yang dibawanya untuk seluruh ummat manusia.
Muhammad bukan founding father of Islam. Agama tidak didirikan oleh Nabi, Rasul atau manusia. Agama bukan buatan atau ciptaan yang selain Allah. Otoritas atas kehidupan manusia seratus persen berada di tangan Allah, dan para Nabi hanya menyampaikannya.
Kedua, hijrah sebagai acuan pokok ilmu, ajaran dan cinta kasih Islam. Anda jualan soto kudus misalnya itu menghijrahkan soto ke pembeli dan si pembeli menghijrahkan uang kepada Anda.
Anda kentut dan buang air besar itu menghijrahkan sampah biologis ke lubang WC. Anda nikah dan akhirnya melahirkan anak ( manak ) itu menghijrahkan sperma ke ovum istri.
Anda menghijrahkan uang Anda ke brangkas bank. Anda menghijrahkan diri Anda yang kotor kemudian bertaubat kepada Allah. Hidup adalah hijrah dariNya menuju keharibaanNya.
Kaena sesungguhnya hidup hanya berlangsung dalam konsep dan mekanisme hijrah.
Tidak ada benda, makhluk, peristiwa atau apapun saja dalam kehidupan ini yang tidak berhijrah.
Menjadi jelas bahwa empasis nilai Islam tidak pada Muhammad Saw, melainkan pada nilai Hijrah itu sendiri.
Ketiga, metodologi dan strategi hijrah. Yang dilakukan pertama-tama oleh Rasulullah saw. begitu tiba di Madinah adalah mempersaudarakan Kaum Muhajirin dengan Kaum Anshor. “Mempersaudarakan” ini sangat luas maknanya: mempersaudarakan dalam konteks transaksi kultural, sosiologis, politis dan lain sebagainya. Negara kita sering ribut, tawuran, aksi-aksi anarki yang membabi buta, aksi demo ormas-ormas yang mengatas namakan agama semakin marak terjadi. Akhirnya menjadikan kerusuhan ,kekacauan dan tumpang -tindih kepentingan semakin parah sehingga banyak bergelimang nyawa yang terhempas sia -sia.
Hal itu terjadi karena konsep persaudaraan kita tidak digali, diterjemahkan dan dirumuskan ke dalam konsep nasionalisme, persatuan dan kesatuan yang jelas. Ketidakjelasan konsep itu membuahkan ketidakmenentuan komunikasi, etika pergaulan antar kelompok, kecurangan politik, dan menjadi lebih parah lagi karena kepemimpinan ilmu kenegaraan Indonesia tidak bersedia mensyukuri ilmu dan ajaran Allah yang mendialektikakan konteks-konteks horisontal dengan vertikal.
Bahkan, kalau tidak karena perlindungan dan kasih sayang Allah kepada rakyat kecil, negara Indonesia tidak akan sanggup menyelamatkan dirinya sendiri. Hancur lebur.......!!
0 komentar:
Posting Komentar