Muhammad Assiry, 23 Agustus 2018
Menyembelih mindset dan keakuan yang negatif pada setiap diri
manusia, tak semudah menyembelih hewan kurban. Kalimah takbir dengan
mengagungkan Allah bahwa tidak ada yang lebih maha kecuali Ia sering
kita lafadzkan, tapi pada saat yang sama kita mudah membusungkan dada,
merasa paling hebat dan paling perkasa. Seabrek jabatan dan prestasi membuat Allah tidak lagi akbar oleh keangkuhan kebanyakan manusia.
Lalu apa arti tawaf, kalau pusat orientasi hidup kita justru Keangkuhan dan kehebatan yang kita sangka abadi menemani kita.
Apa arti melempar jumrah, kalau setan yang bersemayam di dalam diri
kita sendiri yakni nafsu dan angkara murka justru menjadi karib dan guru
sejati yang terus kita mahkotai di dalam aliran darah kita.
Apa
arti lari dari Safa ke Marwa, kalau setiap hari yang kita kejar dengan
sempoyongan adalah sesuatu yang semu yang bisa berupa harta dan
kekuasaan apalagi dengan politik kotor dan saling fitnah dan menikam
satu sama lain.
Apa arti 'Arafah, kalau kesadaran dan pengetahuan
kita tidak beranjak dari hasrat libido sendiri dan Tuhan pun sekadar
nama yang menjadi ritual belaka tidak meluruh dan membekas kepada
perilaku kita.
Dan apa arti pakaian ihram, bila pakaian yang kita perebutkan justru yang serba luaran dan artifisial.
Kita meributkan sesuatu yang memberangus ukhuwah dan persatuan. Tuhan
ngga budheg bahkan ia maha mendengar tetapi Toa kalian keras - keraskan
padahal engkau tahu bahwa kuping saudaramu yang berbeda agama juga punya
batasan. Kalian teriak- teriak penista agama tapi kalian lupa kalian
telah menistakan kemanusiaan dan keberagamaan itu sendiri.
Selamat berkurban, "menyembelih" keakuan dan keangkuhan. Hanya Kepada
Allah lah, cinta kita labuhkan dengan cara mengasihi sesama meskipun
berbeda pandangan, ras, suku maupun agama.
Jangan cuma hewannya yang
kita sembelih di mana- mana. Karena hakikat kurban adalah sifat
kehewanan yang bercokol dalam dirimu yang engkau sembelih biar cintamu
sekonyong koder tidak tertolak olehNya.
0 komentar:
Posting Komentar