Muhammad Assiry, 10 September 2017
"Sebaiknya perempuan menimal menikah usia 21 tahun, sedangkan pria
minimal 25 tahun dengan salah satu syarat salah satu pihak memiliki
penghasilan tetap," cetus ayah lima anak itu.
Hal yang paling
penting dilakukan, kata Binsar, bila perlu sebelum pernikahan harus
diatur persyaratan yang tegas, yakni mereka masih dalam kondisi kudus,
suci, artinya masih perawan atau tidak.
"Untuk itu, harus ada tes keperawanan," kata Binsar dalam halaman 194.
Jika ternyata sudah tidak perawan lagi, maka perlu tindakan preventif
dan represif dari pemerintah. Barangkali, kata Binsar' pernikahan bisa
ditunda dulu".
Begitu saya menukil ungkapan Binsar sang Hakim
agung ini. Lucu dan sepertinya otaknya juga sudah tidak perawan dan
perlu diperiksa.
Pertanyaan saya, mengapa kehormatan dan kesucian yang terkait dengan moral hanya ditimpakan kepada perempuan?
Pemahaman umum terhadap keperawanan adalah keutuhan selaput dara.
Kerusakan selaput dara bisa terjadi karena beberapa penyebab, seperti
olah raga, kecelakaan, masturbasi, dan perkosaan. Ada lagi pendapat
bahwa keperawanan adalah vagina yang belum pernah kemasukan penis. Nah,
bagaimana kalau ada vagina yang sudah dimasuki penis tapi selaput
daranya masih utuh? Soalnya, bisa terjadi selaput dara tidak pecah
ketika terjadi sanggama.
Persoalan baru akan muncul terkait
dengan wacana tes keperawanan itu: sekarang ada tindakan medis yang bisa
memperbaiki selaput dara Gadis-gadis yang mempunyai uang akan memilih
cara ini untuk mengelabui tes keperawanan. Ini lagi-lagi menempatkan
perempuan yang miskin kian terpuruk karena tidak bisa membayar biaya
untuk operasi selaput dara.
Dalam membicarakan gadis dan perjaka
di tataran sosial ternyata masyarakat kita ambiguitas (tidak tegas
karena selalu mempunyai penafisaran yang ganda). Laki-laki tidak
dibicarakan dari aspek gender (pembedaan antara eksistensi laki-laki dan
perempuan di ranah sosial), moralitas, dan kesucian. Sedangkan
perempuan selalu dikait-kaitkan dengan gender, kehormatan, noda, dan
kesucian. Secara denotatif perjaka adalah remaja pria yang belum pernah
melakukan hubungan seks di dalam atau di luar nikah. Tapi, di masyarakat
yang ambiguitas, seperti Indonesia, perjaka adalah laki-laki yang belum
menikah biar pun faktanya mereka sudah tidak perjaka lagi karena sudah
pernah melakukan hubungan seksual. Padahal, perjaka yang belum menikah
pun bisa saja sudah melakukan hubungan seksual di luar nikah sehingga
keperjakaan mereka hilang seiring dengan hubungan seksual yang mereka
lakukan.
Terus kalau ternyata perempuan yang mau nikah ternyata
terbukti tidak perawan apakah ini menjadi tanggung jawab negara. Negara
tidak perlu repot - repot ngurusi status perawan atau tidaknya seorang
wanita. Kemudian bagaimana hukuman bagi laki-laki yang merusak
keperawanan anak-anak gadis itu? Jika Anda hanya melihat kesalahan pada
pihak perempuan maka hal itu merupakan diskriminasi.
Selama ini
pergaulan anak-anak remaja memang kian memprihatinkan. Kedekatan lawan
jenis semakin sulit diawasi orang tua. Pacaran yang menjurus ke arah
eksploitasi seksual, dikhawatirkan sudah terjadi.
Wacana yang paling
baik adalah merancang upaya yang konkret untuk meningkatkan tanggung
jawab remaja putra dalam melindungi mahkota remaja putri. Ini baru jujur
dan adil.
Di banyak negara, seperti di Eropa Barat, Australia
dan Amerika Serikat yang tidak ada tes keperawanan gadis-gadis di sana
tetap menjaga kehormatannya. Masyarakat Indonesia salah kaprah menilai
remaja Barat karena terpengaruh film-film Hollywood yang dibuat untuk
kebutuhan pasar. Film-film itu tidak perpijak pada realitas sosial
karena perilaku yang ditonjolkan di film bukan gambaran masyarakat Barat
sebagai realitas kehidupan, tapi perilaku orang per orang atau kelompok
dalam satu komunitas. Pemerintah di sana tidak bisa berbuat banyak
karena terkait dengan HAM.
Seorang perempuan muda mengenakan rok
pendek sampai celana dalamnya kelihatan. Ini terjadi di angkutan umum di
Manila, Filipina, pukul 03.00. Ketika ditanya mengapa dia tidak takut
mengalami pelecehan seksual karena pakaiannya merangsang, dia pun
menjawab: “Kita ‘kan manusia yang beradab dan hidup di negara hukum.”
Bayangkan di Indonesia yang selalu berkoar-koar sebagai bangsa yang
berbudaya, beragama dan ber-Pancasila tingkat pelecehan seksual dan
perkosaan sangat tinggi. Bahkan, ada korban perksoaan yang memakai
pakaian yang menutup aurat.
Moral remaja memang perlu
dipelihara.” Tapi, cara menjaganya bukan dengan tes keperawanan yang
diskriminatif. Apakah hanya remaja (dalam kiatan ini adalah gadis) yang
moralnya bobrok? Bukankah, maaf, anggota legislatif dan eksekutif pun
ada yang terlibat korupsi? Bahkan ketua KPK saja tersandung.masalah
korupsi E-KTP.
Pelaku zina di lokasi pelacuran dan di luar lokasi
pelacuran, panti pijat plus-plus, karaoke, dll. justru didominasi oleh
orang-orang tua (dewasa): Apakah kita menutup mata terhadap fakta ini?
Sekarang kian banyak istri yang tertular HIV dari suaminya. Ini
membuktikan perilaku seksual suami-suami yang luput dari cercaan
moralitas.