Betul sabda Nabi Muhammad bahwa kita ini besar tapi bagai buih dilautan. Terombang -ambing dan keruh dalam fikiran dan perilaku dalam mengarungi bahtera kehidupan.
Masih punyakah kita rasa malu sedikit saja dengan Mahatma Gandhi yang menurut sebagian dari kita ia yang beragama Hindu itu kita sebut "kafir". Tetapi perilakunya begitu "Muslim". Bagaimana tidak, bahkan ketika dirinya mengalami diskriminasi berkali-kali, diusir, diancam pembunuhan sana-sini, dicaci-maki, bahkan dipukulin rame-rame.
Pada umumnya manusia 'biasa' akan kapok, pasrah sama keadaan, atau justru malah membenci dan menyimpan dendam terhadap pelaku yang melakukan bentuk ketidakadilan tersebut. Tapi di sinilah keistimewaan seorang Gandhi, yang mampu menyalurkan energi kejengkelannya menjadi suatu sikap, prinsip, tekad, dan komitmen yang luar biasa gigih untuk memperbaiki situasi dan permasalahan di depan matanya.
Sedangkan lihatlah diri kita, hanya karena persoalan kecil saja kita menjelma seperti anak kecil yang terus saja "nyinyir" berjamaah, dengan mengajak orang lain untuk ikut tidak suka dengan sesuatu, bahkan memboikot produk tertentu lantaran hanya karena berbeda mindset dan pendapat dengan kita. Dimanakah letak nurani kita semayamkan? Padahal kelakuan seperti itu hanya bisa dilakoni oleh anak SD seperti saya. Ketika saya tidak dikasih permen oleh teman saya lantas saya bilang -bilang dengan teman saya lainnya agar supaya kompak untuk tidak "ngancani" atau mengajak semacam mogok massal biar teman-teman saya yang lain itu juga ikut-ikutan ngambek dengannya. Duh Gusti....
Padahal sudah pasti owner Perusahaan-Perusahaan yang kita boikot itu sudah kaya raya bahkan tabungannya bisa ratusan milyar hingga trilyun. Saya kira tidak memilki pengaruh yang berarti. Tetapi justru imbas dan masalah yang harus kita fikir masak itu sesungguhnya adalah nasib para Karyawan itu sendiri yang hanya bisa mengggantungkan nasibnya dari bekerja dan tidak mengerti seluk -beluk kebijakan Perusahaan.
Adakah ayat yang menyatakan bahwa Allah memerintahkan untuk memboikot produk-produk tertentu? Jawabannya, tidak ada sama sekali. Allah tidak memerintahkan untuk boikot, maka itu menunjukkan bahwa boikot produk apapun dalam keadaan semacam ini bukanlah jalan yang bijaksana.
Lihatlah bahwa orang Yahudi pun tega membunuh nabi-nabi mereka sebagaimana yang Allah kabarkan. Yang dibunuh bukanlah manusia biasa atau muslim biasa, namun seorang Nabi yang mulia. Lantas apakah Allah memerintahkan kepada orang-orang beriman untuk memboikot produk-produk Yahudi karena kelakuan mereka ini? Jawabannya, tidak sama sekali. Lihatlah juga pada Nabi Musa ‘alaihis salam ketika ia dicela dan disakiti, ia pun tidak memerintahkan pengikutnya untuk memboikot produk-produk musuhnya kala itu. Nabi Musa ‘alaihis salam sama sekali tidak memboikot Fir’aun, padahal Fir’aun jelas-jelas mengakui dirinya adalah Tuhan Yang Maha Tinggi. Bahkan sudah tahu Fir’aun seperti itu, Musa tetap mau diasuh di rumah Fir’aun, ia pun makan di situ, ia memakai pakaian dari Fir’aun, padahal Fir’aun secara terang-terangan melakukan kekufuran yang nyata.
Lihatlah pula kisah Nabi Yusuf ‘alaihis salam. Di mana beliau disakiti oleh saudara-saudaranya sebagaimana telah kita tahu kisahnya. Namun apakah Nabi Yusuf sampai melakukan boikot terhadap saudara-saudaranya itu? Misalnya dengan tidak memberikan jatah makanan kepada mereka karena balas dendam. Iblis manakah yang bersemayam didalam hati dan fikiran kita sehingga begitu gelapnya, sehingga tak mampu lagi membedakan ini bijak atau justru membuat kita makin koplak.
Yusuf pun masih melakukan jual beli dengan mereka. Allah Ta’ala pun tidak memerintahkan pada Nabi Yusuf untuk tidak memberi sembako pada saudara-saudaranya itu.
Apakah Nabi Muhammad -shallallahu ‘alaihi wa sallam- Juga Pernah Memboikot Produk Kafir Quraysy?
Jika melihat kehidupan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sesudah hijroh, kita tahu bahwa beliau kala itu berada di tengah-tengah orang Yahudi. Seringkali beliau membuat perjanjian dengan mereka. Namun orang Yahudi seringkali mengkhianati perjanjian tersebut. Di antara bentuk tidak sopannya orang Yahudi terhadap umat Islam kala itu adalah bagaimana mereka mengucapkan salam kepada kaum muslimin. Dari Abdullah bin Umar, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Jika seorang Yahudi memberi salam padamu dengan mengatakan ‘Assaamu ‘alaikum’ (semoga kamu mati), maka jawablah ‘wa ‘alaika’ (semoga do’a tadi kembali padamu).” (HR. Bukhari no. 6257)
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tetap bersabar atas kelakuan orang-orang Yahudi dan tidak melakukan boikot sama sekali ketika berdagang dengan mereka. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri biasa bermuamalah dengan orang Yahudi, bahkan ketika beliau meninggal dunia, Aisyah radhiyallahu ‘anha mengatakan bahwa ketika itu baju besi beliau tergadai di tempat orang Yahudi untuk membeli makanan gandum sebanyak 30 sho’ (Shahih Bukhari, 3/1068). Dari hadits ini, Ibnu Hajar rahimahullah mengatakan, “Dalam hadits ini terdapat pelajaran tentang bolehnya bermua’amalah dengan orang kafir selama belum terbukti keharamannya.” (Fathul Bari, 5/141)
Kalau kita perhatikan pula, orang-orang Yahudilah yang menjadi pedagang di kota Madinah, mereka menguasai industri dan pertanian. Namun kaum muslimin di masa itu tetap memanfaatkan hasil pertanian orang-orang Yahudi, mengenakan pakaian mereka, dan memanfaatkan hasil industri mereka. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pun tidak menghalangi kaum muslimin untuk bermuamalah dengan mereka. Beliau pun tidak melakukan boikot, padahal Yahudi sudah jelas sering mengkhianati beliau bahkan berlaku kejam terhadap beliau.
Pada peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW kali ini, jangan cuma kita lantang membaca kitab al Barzanji, kita ramai pengajian Maulid dimana-mana. Tetapi kita lupa apa yang sesungguhnya harus kita ambil adalah teladan baik atau uswatun hasanah dari mindset, sikap dan perilaku Nabi. Yang harus terus kita maulidkan adalah kepribadiannya yang indah, perilakunya yang meneduhkan hati alam semesta raya ini.
Kita lupa essensi Maulid Nabi yang terus kita peringati tetapi tidak menunjukkan bahwa kita juga terus meneladani akhlaqnya yang terpuji. Kita bahkan sibuk sekali dengan ribut kesana -kemari, memperolok -olok saudara sendiri, hanya karena berbeda pola fikir, pendapat, gagasan bahkan tidak segan dan sungkan kita mengatai mereka dengan sebutan munafiq, kafir sesat dan sumpah serapah lainnya. Kita rajin mengajak orang lain untuk memboikot produk -produk tertentu karena kebencian kita yang terlalu berlebihan dan membabi buta. Jika ada orang yang membeli dan mengkonsumsinya lantas kita labeli ia Bangsat, sesat dan murtad.
Oy...... Ayo mari Boikot diri kita sendiri. Dengan membikot seluruh sifat -sifat buruk didalam diri kita masing -masing agar tidak menular kepada siapapun. Jangan menjadikan diri kita sebagai Iblis dan jin yang culas bagi sesama. Semoga kita tidak digolongkan oleh Allah sebagai biang kerok dan ditakdirkan sebagai manusia yang diibliskan oleh-Nya. Naudzubillahi min dzalik.
“Dan Demikianlah Kami jadikan bagi tiap-tiap Nabi itu musuh, Yaitu syaitan-syaitan (dari jenis) manusia dan (dan jenis) jin, sebagian mereka membisikkan kepada sebahagian yang lain perkataan-perkataan yang indah-indah untuk menipu (manusia). Jikalau Tuhanmu menghendaki, niscaya mereka tidak mengerjakannya, Maka tinggalkanlah mereka dan apa yang mereka ada-adakan.” (QS. Al An’am: 112)
Ya Allah Ya Rahman Ya Rahiiim, ampuni kami Ya Allah. Tanamkanlah di hati kami yang lapang ini dengan rimbunnya kasih sayang yang menjadi cerminan sifat-Mu. Ya Allah bukalah cakrawala cara berfikir, bersikap, bertindak atas dasar keridhaan-Mu semata Ya Allah, agar damai alam ini agar renyah kebahagiaan hidup ini kami kunyah. Bukankah perbedaan-perbedaan itu adalah ciptaanmu semata. Engkaulah yang menciptakan ras, suku, golongan , kelompok, bangsa-bangsa bahkan agama. Engkau menjadikan semua itu ada sebagai rahmat. Sedangkan Kita sebagai manusia hanya lumbung kecil bagi padi -padi yang menguning. Apakah padi -padi itu kita pukul hingga musnah atau kita berusaha mengolahnya hingga bisa menciptakan kemakmuran, kesejahteraan dan kebahagiaan bersama-sama khususnya bagi negeri tercinta Indonesia dan seluruh rakyat yang berbhineka tunggal ika.
"Marah itu gampang. Tapi marah kepada siapa, dengan kadar kemarahan yang pas, pada saat dan tujuan yang tepat, serta dengan cara yang benar dan bijak itu yang sulit". (Aristoteles)
0 komentar:
Posting Komentar