Beberapa waktu yang lalu seorang sahabat saya, kekasih hati dan juga karib saya, Si Cantik Sisilia Margaretha seorang calon biarawati yang beràgam Katolik "ngeshare" sebuah percakapan dengan seserang yang mengaku Muslim tetapi ia dengan PeDenya mengatakan orang di luar Islam itu Kafir. Bahkan Mbak Sisilia ini juga langsung dicapnya "kafir" juga.
Saya sedih, prihatin rasanya ingin gulung -gulung, gedruk -gedruk melihat semakin banyak orang yang sedemikian dangkalnya terhadap Islam. Allah saja masih memiliki ruang yang luas kepada Makhluknya.Jika mau beriman maka berimanlah, dan kalau mau kufur, silahkan kufur. Jangan suka menuding-nuding, apalagi ngecap dengan lebel kafir, itu menghina martabat manusia. Bukankah menyakiti hati orang lain itu bukan ajaran Islam, bukan teladan dan akhlaq Rasulullah.
Musuh kita sesungguhnya adalah kesempitan dan kedangkalan berfikir. Marilah terus membuka ruang berfikir kita biar lebih jembar dan luas biar ngga gampang gerah. Tidak sedikit orang yang menandakan keislaman seseorang dari sekedar membaca dua kalimat syahadat. Padahal yang perlu diketahui ialah apakah syahadat itu formal atau substansial?
Padahal istilah kafir atau muslim dan mukminnya seseorang itu terletak pada pemahaman bahwa menghargai manusia dan kemanusiaan apapun itu agamanya, dan itulah islam. Kalau Islam dan Mukminnya seseorang itu bermakna substansial, berarti tidak tergantung diucapkan atau tidak. Sebab kalau harus mengucapkan, berarti ini tidak berlaku bagi orang bisu. Bagaimana mungkin seseorang yang bisu bisa membaca Syahadat.
Sedemikian juga Islamnya seseorang tidak bisa diukur dengan panca indra seperti dilihat menggunakan peci atau didengar mengucapkan syahadatain. Pada tingkatan tertentu, jangankan menuduh orang lain itu kafir, menilai bahwa seseorang itu Muslim, sejatinya kita tidak mempunyai hak.
Jika saya bersyahadat dan mengimani bahwa tiada Tuhan selain Allah dan Muhammad utusan Allah itu belum cukup saya disebut Muslim harus ada langkah selanjutnya yakni saya hàrus berperilaku baik ( beraklaq) kepada siapapun bahkan terhadap seluruh makhluk dan semesta raya ini. Makanya kenapa Islam disebut rahmatan lil alamin, ini sebenarnya kuncinya. Makanya banyak disebutkan dalam setiap ayat Al Quran "Ya ayyuhalladzina Amanuu", kata "Amanu" ( yang beriman) sering sekali dibarengi dengan wa'amiluu al shalihat( yang berperilaku dan beramal baik). Berati ini mengandung maksud bahwa orang yang mengaku beriman, tentu ia juga berperilaku baik.
Yang memilki kapasitas untuk menilai seseorang kafir atau tidak adalah Allah. Dialah yang memiliki informasi yang sempurna hingga bisa melihat, baik yang dzahir maupun yang batin, soal Islam tidaknya seseorang. Jika seseorang menghakimi orang lain kafir, berarti ia ‘menutupi’ haknya Allah. Tidak hanya menutupi, bahkan ada orang atau lembaga seperti MUI yang mengklaim bahwa Merekalah yang berhak memberi stempel kafirnya seseorang, ini kan memalukan.
Sekarang saya bertanya kepada temen -temen sekalian, Apakah Anda memilki cara untuk mengetahui seberapa iman anda? Bisa nggak kita mengukur akidah kita? Bisa nggak kita mengukur, kita ini Islam atau belum Islam? Kalau Anda menjawab “bisa”, itu kan mulutmu. Lha hatimu? Kita tidak bisa menilai Islamnya orang, kita tidak bisa menilai sesat atau bukan kecuali MUI yang selama ini paling getol melebeli sesorang itu sesat dan kàfir.
Ini sama halnya dengan persoalan halal dan haram, yang boleh melegitimasi kedua hukum tersebut adalah Allah Swt. Apabila kemudian MUI mengeluarkan fatwa halal atau haram, sebaiknya diawali dengan kalimat “berdasarkan sidang para ulama, menurut sidang itu” baru kemudian dilanjutkan kepada kalimat hukum tentang fatwa halal atau haram. Karena dalam kehidupan ini pemilik hak mutlaq secara kaffah àtau total adalah Allah swt.
Hal ini juga agar jelas, bahwa fatwa sesat, kafir dan semacamnya juga label halal atau haram yang dikeluarkan oleh MUI bersifat relatif, setidaknya tidak merepresentasikan umat Islam Indonesia seluruhnya. Sedemikian sehingga membuka ruang-ruang dialog yang sehat dan bisa memberikan masukan serta kritik yang baik.
Saya setuju saja dan senang ada banyak dana yang masuk dari sertifikat halal ke MUI, Coba sekali -kali MUI transparan kemana dana -dana itu. Selama ini kan nggak masuk akal, padahal milyaran. Kafir itu jika digunakan dalam agama menjadi orang yang menutup diri dari kebenaran. maka dari itu dalam bahasa Inggris kafir menjadi heathen bukan cover karena memiliki arti yang berbeda.
Lalu mengapa orang Kristen disebut Kafir?. Menurut saya, kristen disebut kafir karena kita menyebut yesus sebagai Tuhan, karena bagi Islam tiada Tuhan selain Allah. Dalam kontek keyakinan, Allah menegaskan bahwa sesungguhnya yang telah kafir itu adalah orang-orang yang berkata, “Sesungguhnya Allah ialah Al Masih putera Maryam.” [QS.Al Maidah:72].
Toh tidak semua orang yang beragama kristen maupun agama lainnya menganggap ada Tuhan lain selain Allah, banyak dari mereka yang mengakui keesaan Allah sebagai Ilah yang tunggal. karena dalam Alkitabpun dalam perjanjian lama khususnya semua Nabi mengucapkan hal itu, mengucapkan tentang keesaan Allah.
Bahkan suatu waktu Abu Thalib pergi ke Syam dengan diikuti oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersama dengan tokoh-tokoh Quraisy dan setelah mendekati seorang pendeta yang bernama Buhaera. Mereka beristirahat, kemudian membiarkan kendaraan mereka mencari kehidupannya. Kemudian pendeta itu keluar menemui mereka, sementara selama ini dia tidak pernah sekali pun menghiraukan kafilah perdagangan itu. Pendeta itu menelusuri tempat mereka berteduh, hingga menemui Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan memegang tangannya. Pendeta tersebut berkata, “Inilah Tuan Manusia, Inilah Rasul alam semesta, Dia diutus oleh Allah sebagai pembawa rahmat Alam semesta.”
Dari cerita itu saja kita juga ngga gegabah "gebyuh uyah" atau memukul rata dengan mengtai orang katolik maupun gama lainnya dengan sebutan Kafir. Karena tidak semuanya begitu.
Semoga mencerahkan.
Illustrasi: Foto peninggalan Biara peninggalan Buhaira.
0 komentar:
Posting Komentar