Hajar (Arab: هاجر, Ibrani:הָגָר) adalah ibu dari Ismail sekaligus istri dari Ibrahim. Hajar konon bearasal berasal dari kata hadzaa ajrikum (Arab: هذااجركم), yang memiliki arti "ini imbalan mu". Karena tidak mungkin jika Hajar itu menggunakan huruf ha ( ﺡ) karena mengandung arti "batu".Orang Indonesia menyebut Siti Hajar . Siti adalah singkatan dari "Sayyidati" yang berarti Putri.
Dalam bahasa Jawa Hajar bisa berarti mendidik atau mengajarkan, meskipun banyak sekali kata hajar sekarang yang dikonotasikan negatif misalnya: "hajar dia!".
Ok, saya tidak perlu membahas soal itu karena yang terpenting dari essensi tulisan saya ini adalah fokus pada Hajar Istri kedua Ibrahim.
Pada awalnya, dia adalah ART ( asisten Rumah Tangga) Nabi Ibrahim. Akan tetapi, Sarah istri pertama Ibrahim mandul dan menyuruh Ibrahim menikah dengan Hajar. Hajar pun punya anak bernama Ismail.
Ketika Idul Adha tiba semua orang fokus pada pembicaraan tentang Ismail Ibrahim nyaris dan jarang sekali yang menceritakan tentang peristiwa hajar yang tidak kalah penting. Hajar adalah ibunda dari ismail tanpa hajar barangkali ismail bukanlah apa-apa.
Sudah menjadi sunnatullah jika poligami selalu menyisakan polemik dan percikan kecemburuan. Ini bukan hanya terjadi dikalangan manusia biasa bahkan Sekaliber Nabi Ibrahim pun mengalami polemik yang demikian. Kian hari, rasa cemburu Sarah justru kian menebal, terutama selepas kelahiran Ismail hingga Siti Sarah mendesak suaminya membawa Siti Hajar dan anaknya jauh dari rumah dimana mereka tinggal. Nabi Ibrahim dan Siti Hajar serta anak mereka lantas menuju ke Baitul Haram.
Siti Hajar adalah lambang wanita sejati yang taat kepada suami dan perintah Allah. Segala kesukaran, kepahitan, keresahan yang ditempuh Siti Hajar bersama anaknya kecilnya, Ismail ketika ditinggalkan Nabi Ibrahim di tengah-tengah padang pasir panas adalah lambang kesetiaan dan kepatuhan seorang isteri kepada peraturan suaminya.
Inilah kisah sebagai teladan bagi wanita dan pria daripada al-Quran yang menggambarkan seorang isteri contoh yang menjadi lambang kewanitaan sejati. Kalau wanita Islam hari ini teguh dan ikhlas seperti Hajar, tentulah mereka akan bahagia dan tidak akan ada yang durhaka dengan suaminya, apalagi sampai menuntut minta diceraikan atau menggugat cerai.Naudzu billahi min dzalik.
Ketika terik matahari di tengah-tengah padang pasir yang kering kontang, Nabi Ibrahim, menunggang unta bersama Hajar dan anaknya Ismail pada sebuah hamparan padang pasir yang gersang.
Kemudian Hajar diturunkan, tanpa kata -kata dan penjelasan apapun Nabi Ibrahim bersiap untuk pergi meninggalkan Hajar dan anaknya Ismail yang masih menyusui. Hajar hanya bisa menangis sesenggukan dan ikhlas karena apa yang dilakukan Ibrahim adalah perintah Tuhan. Meskipun secara logika perintah Tuhan ko kebangetan amat kayak ngga ada perintah yang lebih elegan saja.
Hajar berkata kepada suaminya: “Jika benar ini adalah perintah Allah, tinggalkanlah kami di sini. Aku ridha ditinggalkan, asal engkau tetap taat atas segala perintah Allah akupun akan selalu mensupportmu wahai Suamiku”. Suara Hajar mantap tanpa keraguan sedikitpun jua, meskipun ia bergetar dan sesekali menyeka air matanya yang terus tumpah.
Jika Hajar itu Anda mungkin akan berbeda. Bisa jadi sumpah serapah yang justru anda akan katakan kepada Suami anda yang berperilaku demikian:
" Kamu itu punya otak apa ngga sehh, ninggalin gue dan anak loe yang masih netek ini sendirian, heyy lo masih waras ? Jangan bawa -bawa nama Tuhan segala apalagi alesan ini perintah Tuhan, Tuhan ko katrok, Dasar suami sinthing loh, Mulai hari ini kita ceraiiiiii!".....
Barangkali inilah bedanya perempuan jaman modern dengan Hajar seorang istri idaman dan teladan sepanjang sejarah manusia. Kepiluan dan kesedihan Nabi Ibrahim, hanya Allah yang tahu. Jika air mata bisa bisa ditampung mungkin bersuangai -sungai air mata Ibrahim tak terbendung melihat betapa tidak teganya ia melihat kondisi Istri dan anaknya yang ditinggalkannya itu.
Sebelum bergegas pergi, Ibrahim menggenggam tangan istrinya. Kemudian diciumnya, dipeluknya Istrinya dengan erat, Ia meminta ridha kepada Istrinya. Sedangkan Hajar hanya bisa menatap ikhlas penuh nanar berlinangan ketika melihat Ibrahim berlalu pergi dan menghilang dari pandangannya.
Coba bayangkan apa yang harus dilakukan oleh Hajar ketika membawa Ismail yang masih merah sendirian. Tanpa bekal cukup, tanpa pakaian yang memadahi, melewati keras dan panadnya gurun dan hamparan padang pasir yang panas dan itu dilewatinya dari hari kehari berganti minggu dan bulan.
Hingga puncaknya adalah ketika semua bekal makanan habis airpun tidak ada.Ismail menangis meraung memecahkan kesepian yang mencekam karena kehausan. Hajar hampir buntu. Di mana mendapatkan air di tengah padang pasir yang kering kontang itu?
Dia pun segera berlari mondar -mandir berulang -ulang sebanyak tujuh kali antara dua bukit, Safa dan Marwa untuk mencari sumber air itu. Ketika Ismail menangis sambil menghentak-hentakkan kakinya ke bumi. Tiba-tiba dengan rahmat Allah, terpancarlah air dari dalam bumi di ujung kaki anaknya Ismail itu.
Pada waktu itu betspa gembiranya hati Hajar bukan kepalang. Dia pun mengambil air itu dan dari mulutnya ia berujar, “Zami, zami, zami..” yang bermaksud, berkumpullah, kumpullah. Seolah-olah dia berkata kepada air itu, “Berkumpullah wahai air untuk anakku.” Air itulah yang hingga kini yang disebut Zamzam.
Contoh yang ditunjukkan oleh Siti Hajar, yang sanggup menempuh pelbagai kesusahan hidup semata-mata karena taat atas perintah Allah dan suaminya.
Kisah ketabahan Hajar, mempunyai kaitan dan falsafah penting ketika umat Islam menunaikan ibadah haji hingga sekarang ini. Sebab itulah bagi jamaah yang berada di tanah suci, ketika mengerjakan umrah atau haji, mereka fardhu atau wajib selepas tawaf di Batitullah al-Haram, untuk menunaikan Sai yaitu berlari kecil dari bukit Safa ke Marwah sebanyak tujuh kali. Ini bertujuan mengingati dan menapak tilasi kembali falsafah kepasrahan kepada Allah, perjuangan, keikhlasan, pengabdian dan tanggung jawab sebagai Ibu yang ditanggung Hajar pada waktu itu ketika mencari air minum untuk Ismail.
Betapa agung dan mulianya Hajar, bahkan kemuliaan hatinya saya tidak sanggup menuliskannya. Betapa ikhlasnya Hajar bahkan kata-kata tidak sanggup merangkai untuk mendeskripsikan keikhlasannya. Dialah wanita teladan ketika Tuhan mentaqdirkannya sebagai madunya Ibrahim. Yang begitu taat, patuh, ikhlas dan ridha kepada Suaminya. Itulah Love Story dan keagungan cinta Hajar kepada Ibrahim karena Allah yang lebih sejati dari sekadar kisah cintanya Romeo kepada juliet atau lebih dramatikal dan menguras air mata daripada kisah cinta Rama dan Shinta sekalipun. Karena Ibrahim menjalankan peran sebagai sebagai Suami yang bijak dan Hajar juga berhasil memerankan skenario Tuhan dengan indahnya sebagai madu.
Jika air mata bisa mengganti setiap huruf dan menuliskan setiap kata. Maka rangkaian kalimat dan huruf -huruf ini tidak saya pakai untuk anda baca dari setiap kata dan kalimat yang saya torehkan ini agar bisa menceritakan tentang sosok mulia yakni Ibu Hajar. Ia adalah simbol kasih sayang seorang Ibu kepada anaknya dan contoh seorang Istri yang sangat patuh dan taat kepada Suaminya.
Sudahkah kita menjadi Seorang Istri yang taat kepada Suami dan menjadi seorang Ibu yang bahkan rela mati untuk anak -anak kita?
Saya meyakini betul bahkan ainul Yaqin dan Haqqul yaqin bahwa dua hal inilah parameter bagi seorang perempuan untuk ditentukan derajatnya apakah ia di Surga atau di neraka.
0 komentar:
Posting Komentar