Assiry Gombal Mukiyo, 18 September 2016
Teman -teman boleh tidak sepakat dengan saya bahwa Selfie itu boleh
asalkan tidak mengandung unsur sara, Pornografi dan fitnah. Selfie bisa
jadi haram bila selfie itu anda lakukan disaat lagi Solat misalnya, lagi
ada orang kecelakaan tapi anda malah sibuk selfie, ada orang kebakaran
rumahnya anda justru tidak membantu malah repot selfie dan banyak contoh
- contoh lainnya yang mengakibatkan perilaku selfie tersebut menjadi
over/ berlebihan sehingga berpotendi menjadi haram. Hal ini tentu
bersifat kontekstual.
Saya memang tidak sependapat fatwa MUI
Palu Sulteng, yang secara ceroboh memfatwakan bahwa Wanita bersuami
haram selfie di Medsos sedangkan tidak ada larangan bagi Suami yang
beristri untuk melakukan hal yang demikian. Ini kan diskriminasi
namanya. Anda jangan tersinggung jika saya tidak sepakat dengan hal itu.
MUI sudah beberapa kali memfatwakan sesuatu haram secara serampangan
mulai dari mengemis haram, BPJS haram, rokok haram, facebook haram,
sekarang juga selfie bagi wanita bersuami difatwakan haram, dan banyak
lagi yang dihukumi haram juga sesat tanpa mempertimbangkan apa akibat
yang akan ditimbulkan oleh fatwa tersebut.
Tidak hanya terjadi di
Indonesia diluar negeripun banyak kasus -kasus fatwa yang lucu dan
menjadi bahan lelucon. Pernah Uama di Malaysia mengharamkan yoga.
Sebagian besar ulama Saudi hingga sekarang mengharamkan perempuan untuk
menyetir mobil. Beberapa ulama Saudi juga melarang perempuan memakai
“bra”, karena hal itu bisa menipu laki-laki, seolah-olah dia memiliki
payudara yang besar, padahal belum tentu demikian, dan karena itu bisa
dianggap sebagai tindakan penipuan dan harus difatwakan haram.
Begitu juga, perempuan diharamkan memakai sepatu dengan hak tinggi,
lagi-lagi dengan alasan penipuan: dengan sepatu berhak tinggi, perempuan
tampak lebih tinggi dari aslinya, dan itu jelas sangat menipu. Dalam
hati saya berkata: kalau diterus-teruskan, perempuan juga dilarang
berhias, karena bisa menipu pula, dia tampak lebih cantik dari aslinya,
dan itu menipu laki-laki. Pertanyaannya Ko selalu yang menjadi obyek
fatwa adalah petempuan.
MUI itu sebenarnya dari jenis apa? Jenis
UFO atau malaikat? Ko begitu hebatnya sehingga memilki legalitas untuk
memfatwakan sesuatu haram, halal, sesat dan lainnya. Tidak pernah
dijelaskan. Tiba- tiba dijadikan lembaga fatwa, aneh sekali. Coba kita
berfikir kritis sedikit apa sebenarnya status MUI? Instansi pemerintah?
Ormas? Orsospol? Lembaga pemerintahankah? Tidak jelas, kan? Tapi ada
anggaran APBN yang terus mengalir. Ini jadi membingungkan.
Menurut
saya penggunaan nama Ulama' bisa disalahgunakan. Di MUI, asal bisa jadi
pengurus MUI maka akan disebut sebagai ulama, meski hanya menjadi
bendahara atau sekretaris.
Betul memang tidak semua orang
kompeten untuk mengeluarkan sebuah fatwa. Tetapi, setiap orang berhak
menilai apakah sebuah fatwa masuk akal atau tidak, apalagi jika fatwa
itu menyangkut kehidupan masyarakat banyak. Dengan kata lain, cara
terbaik yang dapat membantu orang-orang awam di bidang hukum Islam untuk
menilai sebuah fatwa adalah akal sehat. Itulah modal mental paling
berharga yang diberikan oleh Tuhan kepada manusia. Dengan akal sehat,
orang bisa sampai pada pendapat yang berbeda-beda. Perbedaan adalah hal
yang biasa dan tentu alamiah.
Tetapi, memberangus perbedaan dengan
alasan bahwa pendapat tertentu bertentangan dengan “fatwa” dari seorang
atau lembaga ulama dan karena itu sesat, jelas tak masuk akal dan
kontradiktif dengan hukum masyarakat.
Ok, merebaknya ‘Selfie’
sebenarnya diangkat dari kegelisahan yang menyeruak masyarakat hari-hari
ini melalui media sosial. Selfie seolah menemukan panggung tersendiri
bagi manusia tersebut. Selfie ialah kegiatan mengenalkan potret diri
kepada khalayak. Potret diri bisa jadi kebohongan pribadi melalui
pencitraan. Dan ataupun kejujuran dalam diri manusia melalui publikasi
tentang apa yang dilakukan.
Memang faktanya aneka unggahan foto
di jejaring sosial tetap didominasi oleh aneka kesibukan pribadi. Ada
potret mangkok bakso yang telah kosong dengan tulisan hmmm yummy, ada
bentuk rambut baru karena seseorang baru keluar dari salon, atau tentang
mobil baru yang baru saja datang ke rumah dengan tulisan: "rezeki anak
saleh", ada yang baru nikah kemudian bikin status : Edisi berpelukan
dengan istri tercinta" dan banyak yang lainnya.
Tidak bisa
dipungkiri, Selfie sudah begitu membabi buta ketika sedang melakukan
ibadah haji dan Umrah malah bukannya sibuk ibadah melainkan selfi
-selfie, parahnya selfie didepan makam Nabi kemudian fiunggah di FB
dengan status " Edisi Kangen dengan Nabi Muhammad". Memangnya Nabi itu
Embahmu? Apa Nabi itu mantanmu yang lama tidak pernah ketemu?
Namun
bagi jamaah umrah atau haji dari kalangan laki-laki bisa menjadi soal
serius jika Selfie tetapi kain ihramnya melorot misalnya. Sebab, batas
aurat kaum Adam adalah dari pusar hingga lutut.
Faktanya, tanpa
sadar banyak jamaah pria ketika mengenakan ihram, wilayah bagian bawah
pusarnya kerapkali terbuka karena kain ihramnya melorot kebawah karena
sibuk Selfie. Ini kerap kali terjadi terutama pada jamaah lelaki yang
berperut gendut.
Kini, sangat mudah mencari foto wajah seseorang
dengan senyum semanis malaikat, dengan sebuah tangan yang seperti
terpenggal nyaris setengah, dan dengan bibir memonyong. Itulah gaya
selfie yang terkenal itu. Sebuah riset mencatat, generasi milenium ini,
dalam setahun bisa mengabadikan sekitar dua ribuan foto dalam setahun
dengan gambar wajah mereka sendiri.
Maka jangan kaget, jika
kebutuhan selfie itu saat ini makin terasa mendesak di banding isu- isu
sosial pada umumnya. Bahkan saat sedang melayat orang mati, seseorang
bisa memajang senyum paling manis dan klik, bergaya di samping peti
jenazah misalnya. Saya khawatir jika semua ini adalah gambaran dari
pemujaan kepada diri sendiri yang sedang sampai di puncak paling tinggi.
Perilaku selfie yang semacam ini yang saya tidak pernah setuju dan haram hukumnya. Tetapi kelucuan -kelucuan itu terus saja merebak dan menyeruak bergumul
bersama pro kontra halal dan haramnya selfie. Ketika ada ustadz HTI
yang punya fans 3 juta lebih di FB. Di twitter dia 14 kali bikin twit
yang mengarah pada fatwa haramnya selfie, apapun bentuknya pokoknya
selfie haram, Eeeehh ternyata habis itu dia gagah-gagahan bikin selfie
sendiri dan berkicau bangga dan senang karena habis selfie. Ini namanya
mirip pepatah ibu Kartini “ Habis Selfie Haram Jadilah Halal”.
Jadi ingat sama koleganya yaitu "Partai Ajaib" yang pernah berkali-kali
bikin manuver politik plin-plan dan jungkir balik. Kalo beda kepentingan
jadi haram, tapi kalo sesuai tujuannya berubah jadi halal. “Pemimpin
wanita haram, pemimpin wanita halal”, “Pemimpin kafir haram, pemimpin
kafir halal”. Lama-lama mungkin juga bakal ada “Korupsi haram, korupsi
halal asal untuk membangun masjid asal syaratnya tidak ketahuan. Inikan
lucu.
Kalo mau selfie ya selfie saja tidak usah fatwa selfie
haram selfie halal. Asal kita memahami kontekstual dan situasinya kapan
harus selfie, dimana kita bisa dan pantas selfie, dengan tetap menata
niat saat selfie dan tentu sekadar hiburan tidak ada masalah sebenarnya.
Mau yang selfie Wanita bersuami atau Suami yang beristri atau Simbahmu
yang juga ingin selfie tak ada masalah.
Kalau sudah begini ujungnya
malah malu sendiri kan? Begitu pula kalau mau politik ya politik saja
tidak usah memakai fatwa pemimpin anu haram pemimpin ini halal, itu
tandanya tidak bisa berpolitik tapi mau menang politik tetapi memakai
cara yang ndak sportif.
Saran saya jika mau komentar, maka
komentar yang sopan, dengan membaca setiap postingan dan tulisan saya
dengan membaca baik - baik secara runut dan runtut. Bahkan kalau perlu
dibaca berulang -ulang kali, jangan mau jadi "generasi kempong" yang
tidak mengerti apa yang ditulis dan hanya membaca judul tulisan langsung
ribut. Atau kalau tidak sependapat dengan saya maka balaslah tulisan
saya ini dengan sebuah tulisan. Tulisan dibalas dengan tulisan, itu yang
benar, jangan malah ngajak ribut, betul begitu kang mas?
#EdisiMukidiNepukJidatSambilSpliitttt