Assiry gombal mukiyo, 05 April 2016
Seorang bijak pernah menyatakan, “terkadang, Sang Juara atas sebuah
event perlombaan, tidak perlu memegang piala”. Jadi sang juara
sesunggunya tidaklah pernah ditentukan oleh hitung-hitungan berada di
urutan berapa dia, seberapa cepat catatan waktunya, seberapa lama dia
bisa bertahan, seberapa ukuran bagus dan indahnya kampungnya. Semuanya
menjadi subyektif dan relatif.
Seperti menilai kecantikan perempuan
misalnya. Mungkin antara si A dan Si B akan berbeda dalam menentukan
standar penilaiannya. Si A menganggap perempuan yang cantik itu pada
fisiknya misalnya jika payudaranya besar dan pantatnya lebar, sementara
Si B menilainya kecantikan itu terletak kepada inner beautynya, pada
baik perilakunya, kecerdasan dan atau melihat kepada intelektualitasnya.
Inilah realita lomba antar Kampung Desa Undaan Lor yang
berĺangsung beberapa waktu yang lalu. Sesungguhnya yang disebut sang
juara, atau eksistensi sebuah kemenangan, hakekatnya tidak berlaku
begitu sebuah pertandingan berakhir dan tanda kejuaraan disematkan
kepada sang juara.
Sebuah tim ataupun seorang atlet yang yang
dapat memenangkan sebuah perlombaan ataupun kejuaraan, sehingga sesudah
kejuaraan ia dijunjung sebagai sang juara. Akan tetapi, yang selalu
perlu kita ingat, ketika sebuah perlombaan ataupun kejuaraan
dilangsungkan kembali, maka tidak seorangpun bisa memastikan bahwa sang
juara akan pasti menang kembali.
Kalau di piala dunia ketika sepuluh
menit sesudah Spanyol menjadi juara lantas mereka dipertandingkan lagi,
maka tak ada jaminan bahwa Spanyol akan menang.
Jadi, sesungguhnya
juara itu tidak ada, coba anda pikirkan, apa logika kualitatifnya kalau
kesebelasan produser total football Belanda tidak bisa ikut piala dunia
sementara Arab Saudi saja bisa masuk meskipun dihajar Jerman pada Piala
Dunia 2002, dengan gol seperti pertandingan sepak bola kampung. Terus
kesebelasan Italia pada Piala Dunia 2010? Betapa tidak konsistennya
kekuatan dan kekuasan dalam kehidupan manusia di muka bumi ini.
Tatkala menang, sadarilah kalahmu. Di waktu jaya, renungilah
keterpurukanmu. Pada saat engkau hebat, ingat-ingatlah kemungkinan
konyolmu. Seorang yang memiliki cinta sejati, tidak akan pernah
meninggalkan sesuatu yang dicintainya sendirian, dalam kondisi apapun
dan bagaimanapun. Ketika yang dicintainya melakukan sebuah kesalahan,
dia akan tetap berada disampingnya, untuk mengingatkan dan menuntunnya
kembali ke “Jalan Yang Benar”, bukan malah mencaci dan meninggalkannya
dalam kesalahan.
Sebuah perlombaan apapun dinyatakan sukses jika
menjunjung sportivitas perlombaan. Sportivitas itu bahasa moral atau
akhlaknya adalah kejujuran: kalau 5 jangan dibilang 3, kalau uang proyek
1 milyar jangan sampai disampaikan yang bersangkutan tinggal 300 juta,
sama dengan kalau motret kenyataan wanita jangan hanya pinggul, susu
dan bokongnya, tapi juga isi hatinya, pikiran dan kepribadiannya ini
yang mungkin terjadi dalam perlombaan -perlombaan tertentu. Sehingga
hasil dari kejuaraan tersebut menjadi centang -perenang dan justru
menjadi preseden buruk karena ditangani oleh manajemen perlombaan yang
juga buruk.
Sportivitas inilah yang saya lihat kurang terlihat,
mulai dari team penilai, Kriteria penilaian yang ambigu, manajemen
perlombaan, dan sebagainya yang perlu banyak pembenahan.
Ada dusta
akut yang menyebabkan antar warga kampung menjadi tegang, menjadi saling
tuduh, menyalahkan dan tidak percaya satu sama lain, jika kondisi sudah
seperti ini, maka untuk pertama kalinya dalam sejarah hidup saya, saya
mengibarkan bendera putih karena perlombaan yang seyogyanya menjadi
ajang silaturrahim dan solidaritas pembangunan menjadi ajang untuk
'nangkring' karena kepentingan tertentu.
Kalau kampung kita
kalah, atau terjadi hal buruk terhadap penilaian lomba Desa semoga kita
tetap sportif untuk tidak menyalahkan siapapun. Toh sebenarnya Kampung
kitalah yang Juara Sejati. Antar Warga yang saling asah asih dan asuh,
Gotong -royong seluruh elemen warga kompak siang dan malam bahkan hampir
tidak perlu ada absen semuanya berjalan beriringan padahal ndak digaji
seperti kampung lainnya misalnya ngecat bersama, menata pagar, halaman,
mendekorasi gapura, mengakomodir perlengkapan administrasi kampung dan
lainnya yang terus berjalan baik dan terus -menerus entah ada perlombaan
atau tidak. Inilah sesungguhnya kemenangan kampung kita yang kemenangan
itu tidak pernah didapatkan oleh kampung manapun.
Pihak -pihak
dari kampung lainnya juga yang "kalah" pun tidak boleh menyalahkan pihak
lain dengan berbagai alasan. Dimasa kanak-kanak saya suka berkelahi dan
kalau kalah saya bikin alasan: "Lha wonge nggowo watu gede” (soalnya
dia bawa batu). Di saat lain saya juga bilang: “ wonge awakke gedhe
duwur"…” (soalnya dia lebih besar dan tinggi dari saya). Kalau sudah tak
punya alasan, masih saja saya bisa bikin alasan: “Makanya aku kalaaah…”
Mental seperti itu ditertawakan oleh petinju kelas berat, yang menjadi
juara dunia tahun 1974 George Foreman setelah menjungkalkan Joe Frazier
lima kali di ronde ke-5. Empat tahun kemudian dia dikalahkan KO oleh
Muhammad Ali yang jauh lebih lemah dan tua dibanding Foreman. Dua tahun
dia frustrasi dan kariernya berhenti setelah kalah lagi dari petinju
yang lebih lemah dari Ali. Ketika Foreman diwawancarai bersama Ali, dia
bilang: “Dua tahun saya sibuk menyalahkan penonton, menyalahkan Ali
dengan rope a dope-nya, tapi kemudian saya sadar bahwa saya sendirilah
yang salah sehingga kalah”.
Teruslah semangat para warga di
Kampungku. Kekalahan dalam ajang perlombaan bukanlah akhir dari sebuah
perjuangan untuk terus membangun, berbakti kepada Allah atas seluruh
karunia dan nikmatNya dengan menganugerahkan kepada kita sebuah kampung
halaman yang nyaman sebagai tempat dimana kita lahir dan dibesarkan.
Secara angka boleh saja kita kalah. Tapi sesungguhnya kampung kitalah
pemenangnya. Kemenangan kita tidak pada hitungan angka -angka dan
kalkulasi subyektif. Kemenangan kita itu terletak pada kobaran semangat
dan cinta yang begitu besar, sehingga hitungan matematika dan apapun itu
tidak bisa mengukur kadar cinta kita terhadap masa depan Kampung kita
yang damai, indah dan asri.
Bukankah Kanjeng Nabi Muhammad SAW.
pernah bersabda "Hubbul wathon minal iman" Bahwa kadar bobot keimanan
kita ditentukan oleh seberapa besar perjuangan dan pengorbanan yang
sudah kita toreh sebagai bukti cinta kita terhadap kampung halaman.
0 komentar:
Posting Komentar