Assiry gombal mukiyo, 2016
Busana perempuan dalam konteks Islam terungkap bahwa pandangan ulama tidak tunggal. Setidaknya ada tiga pandangan ulama tentang busana perempuan dalam Islam.
(1). Pandangan yang mewajibkan perempuan dewasa menutupi seluruh tubuhnya., termasuk wajah dan tangan, serta bagian matanya.
(2). Pandangan yang mewajibkan perempuan dewasa menutupi seluruh tubuhnya, kecuali bagian muka dan tangannya.
(3). Pandangan yang mewajibkan perempuan dewasa menutupi tubuhnya, selain muka dan tangan hanya ketika melaksanakan ibadah shalat dan thawaf. Selain itu perempuan boleh memilih pakaian yang disukainya sesuai adab kesopanan yang umum berlaku dalam masyarakat.
Rambut kepala bagi mazhab ini bukan aurat sehingga tidak perlu ditutupi. Nah dalam konteks beragama, dengan demikian yang diperlukan adalah sikap menghargai dan menghormati orang lain, apapun pilihan pendapatnya, dan perlunya kearifan dalam merespons perbedaan pendapat.
Satu-satunya ayat Alqur'an yang secara eksplisit menggunakan istilah jilbab termaktud dalam Qs Al-Ahzab ayat 59 yakni "wahai nabi, katakanlah kepada para istrimu dan anak-anak perempuanmu, serta para perempuan mukmin agar mereka mengulurkan jilbabnya. Sebab, yang demikian itu akan membuat mereka lebih mudah dikenali sehingga terhindar dari perlakuan tidak sopan".
Ayat tersebut sesungguhnya merupakan respons terhadap tradisi perempuan Arab ketika itu yang terbiasa dengan membiarkan muka mereka terbuka seperti layaknya budak perempuan. Para perempuan beriman juga ikut-ikutan terhadap perempuan Arab tersebut. Tanpa dinyana, mereka diganggu oleh para laki-laki jahat yang dikiranya adalah perempuan dari kalangan budak. Lalu turunlah ayat tersebut, menyuruh Nabi untuk menutup seluruh tubuh perempuan mukmin.
Kenapa sejak dulu di Indonesia, para ulama dan Kiai besar tidak pernah "meributkan" soal jilbab atau hijab atau "busana syar'i" dlsb? Atau ulama' moderat Sebut saja seperti Nur Khalis Majid (Cak Nur), Cak Nun, Almarhum Gus Dur, Gus Mus, Qurays Syihab dan lainnya Karena mereka menganggap masalah ini bukan masalah fundamental dan substantial dalam Islam. Mereka berargumen sepanjang busana yang dikenakan itu menutup aurat dan sesuai dengan ukuran kepantasan dan norma yang berlaku di masyarakat setempat atau katakanlah sesuai dengan "tradisi dan budaya Nusantara" maka itu sudah sangat Islami dan sangat Qur'ani.
Karena itu dulu para putri kiai-kiai besar cukup mengenakan pakaian jarik dan kerudung. Bahkan sebelum "teknologi kerudung" diperkenalkan ke masyarakat, mereka cukup memakai kemben. Setelah "teknologi" celana panjang & aneka jenis baju diperkenalkan, gaya berbusana para putri kiai pun mengikuti dan menyesuaikan perkembangan jaman. Jadi, kaum Muslimah di Indonesia tidak perlu repot- repot mencontoh gaya berbusana masyarakat Arab dengan abaya gelombor. Busana "kebaya Jawa", misalnya, itu sama derajat "islaminya" dengan model "abaya Arab".
Hanya belakangan saja orang-orang pada ramai hiruk-pikuk membahas soal "hijab syar'i" lah, "jilbab islami" lah. Dan ketika saya berbeda pandangan tentang hijab atau jilbab ini, kemudian menuding -nuding saya kafir, sesat, bodoh, salah kaprah dan semacamnya.
Saya amati hal ini terjadi setelah munculnya berbagai ustad karbitan yang "unyu-unyu"--para ustad yang hanya bermodal cekak satu-dua dalil dari Al-Qur'an atau Hadis tapi miskin wawasan kesejarahan dan perangkat ilmu-ilmu sosial. Para ustad yang hanya bisa menghafal sejumlah ayat, Hadis, dan "aqwal" (perkataan para ulama klasik) tetapi tidak menguasai metodologi keilmuan. Akibatnya, mereka hanya bisa mengartikan ayat, hadis, dan "aqwal" tentang "hijab" tadi secara leterlek dan tekstual sehingga kehilangan konteks, sejarah, spirit atau ruh tentang tradisi hijab tadi dalam sejarah keislaman, keagamaan, dan masyarakat Timur Tengah pada umumnya--baik masyarakat agama maupun masyarakat non-agama.
Teks apapun kalau dibaca secara "leterlek" menjadi kaku: harus begini, tidak boleh begitu. Padahal kan justru lebih enak & mengasyikkan kalau sesuatu itu bersifat lentur: kadang kaku, kadang lemas; kadang keras, kadang lembut sesuai dengan situasi dan kondisi. "Ngaceng" terus itu juga ndak enak, ya kadang ngaceng kadang juga loyo. Itulah justru keindahan dalam menjalankan perilaku beragama.
Jangan marah jika saya berpendapat bahwa aurat itu bukan soal fisik tetapi lebih kepada mindset. Dalam hal "jilbab", wanita yang menjadi korban atas "mindset" laki-laki.
Jadi sebenarnya menurut saya yang perlu "dijilbabi" adalah mindset kita agar bisa mengendalikan diri terhadap nafsu sex ketika melihat lawan jenis. Jika pola fikir sudah ngeres duluan memakai hijab full pun bisa menumbuhkan rangsangan birahi.
Kalau sudah menyangkut aurat, semua kembali ke mindset masing-masing. contoh (jika bukan gosip ) misalnya Pemerintah arab melarang perempuan menonton pertandingan sepakbola (laki-laki ) karena paha pemain bola tersebut ternyata menimbulkan syahwat para wanita arab.
Begitupun kasus deportasi oleh pemerintah Arab terhadap model super ganteng asal Dubai, karena lagi -lagi menurut pemerintah arab, saking gantengnya model itu dikuatirkan menimbulkan syahwat wanita arab.
So, aurat = mindset, jadi jilbabilah (kendalikan) mindsetmu agar tidak mudah tergoda nafsu ketika melihat lawan jenis.
Ibu -ibu pernah ngerumpi saat di bandara Soetta, dan tanpa sengaja saya mendengarnya. Seorang ibu itu berkata " Al hamdulillah yahh bu, sekarang mah si anuh itu sudah dapat hidayah karena sudah berjilbab!"
Saya mendengarnya langsung kembung perut saya dan uppss.... kentut.
Adakah hubungannya antara jilbab atau hijab dan "hidayah"? Jelas tidak ada. meskipun mungkin saja ada Bu Hidayah atau Mbak Hidayati yang berjilbab. Apakah perempuan yang berjillbab atau berhijab dengan sendirinya sudah mendapatkan "hidayah"? Belum tentu juga. "Hidayah" itu tidak ada sangkut pautnya dengan busana. Hidayah itu urusannya dengan hati dan akhlaq, bukan soal sehelai pakaian.
Banyak umat Islam yang merasa kalau sudah berjilbab atau berhijab itu sudah mendapatkan "hidayah" dan menganggap mereka yang belum berhijab itu belum mendapatkan "hidayah". Banyak pula perempuan Muslimah yang berhijab merasa diri lebih baik, lebih salehah, lebih 'alimah ketimbang mereka yang tidak berhijab. Banyak pula yang merasa diri sudah layak masuk surga hanya karena tubuhnya sudah dibalut sehelai hijab. Banyak pula yang menganggap neraka adalah tempat orang-orang yang tidak berhijab.
Jika ada Muslimah yang merasa diri lebih baik, lebih taat, lebih salehah dan seterusnya hanya karena sudah berhijab disitulah kadang saya merasa sedih seperti ingin gulung -gulung di tengah -tengah jalan tol tapi saat jalan macet.
Apalah artinya tubuh kalian yang berhijab itu jika hati kalian tidak ikut "berhijab"? Apalah artinya menutup tubuh luar kalian jika hati dan pikiran kalian tidak ikut ditutupi dari kesombongan, keujuban, kedengkian dan segala penyakit batin lainnya? Alih-alih menganggap perempuan yang tidak berhijab belum mendapatkan hidayah, jangan-jangan justru kalian sendirilah yang belum mendapatkan "hidayah" itu. Alih-alih merasa diri layak masuk surga, jangan-jangan malah terperosok ke dasar neraka keangkuhanmu sendiri.
Orang baik tidak cukup dilihat dari pakaiannya, tapi dari perbuatannya. Jangan terpaku pada penampakan luar dan mengesampingkan yang lebih esensial yaitu attitude dan akhlaq ( moral). Bukan berarti saya anti kerudung. Sehingga membolehkan para muslimah berpakaian ketat dan membuka aurat.
Pun juga tidak ada hubungannya antara pakaian dan kesalehan seseorang hanya indikatornya dari pakaian jilbab.
Antara jubah maupun jilbab dengan kebaikan, moralitas, dan perilaku seseorang tidak bisa dilihat hanya dari pakaian. Keliru besar jika orang-orang Barat misalnya yang mengaitkan antara jubah dan hijab dengan radikalisme, ekstremisme, anti-kemanusiaan dan seterusnya. Hal itu sama kelirunya dengan sebagian kaum Muslim di Indonesia yang menganggap orang Islam lain yang tidak berjubah & berjilbab itu sebagai Muslim sesat dan calon penduduk neraka. Lebih konyol lagi jika ada yang beranggapan bahwa surga itu hanya untuk kaum Muslim yang berjubah dan berjilbab.
Beragama itu tidak cukup hanya membaca ayat ini, hadis itu, perkataan ulama ini-itu, tanpa melihat konteks ayat, hadis, dan perkataan ulama tadi. Segala sesuatu ada konteksnya. Setiap dalil ada sejarahnya. Begitu pula risalah tentang "hijab" ini: ada sejarah dan konteknya. Jika umat Islam membaca dengan teliti dan seksama diiringi dengan pemahaman sosial-kesejarahan, maka kita akan tahu bahwa sesungguhnya tidak ada "juklak" dan "juknis" mengenai berhijab ini. Karena itu sejumlah ulama dan fuqaha (ahli hukum Islam) melonggarkan aturan berhijab ini.
Sepanjang pakaian itu menutup aurat, maka itu sudah berhijab karena itu tidak ada bedanya antara kebaya Jawa dan abaya Saudi misalnya--semuanya "busana Muslimah". Yang menganggap jeans dan kaos itu sebagai "busana kafir" dan "tidak agamis" juga keliru dan "wagu". Kalau memang jeans, kaos, sempak, sebagai "pakaian kafir" tentu perempuan-perempuan Muslimah Arab tidak akan memakainya. Kenyataannya mereka memakainya dengan suka-ria. Luarnya pakai abaya, dalemannya bisa macam -macam variannya: jeans, kaos, training, kutang, G string, pampres, dlsb.
Yang ironi justru ketika hijab dipandang sebagai masalah psikologis-sosiologis ketimbang teologis. Maksudnya hijab masih merupakan tuntutan pekerjaan ketimbang sebagai perintah keagamaan. Dari kalangan mereka masih phobia, kalau mereka mengenakan hijab atau jilbab rizki atau jobnya akan berkurang misalnya. Asumsi seperti ini masih kuat di kalangan artis, walaupun sudah bermunculan artis yang sejak kemunculannya mengenakan hijab atau jilbab, terutama para artis yang mengisi acara Ramadhan.
Hijabers dengan demikian, masih menganggap bahwa fashion sebagai fashion yang berkonotasi style, mode, dan cara demi tuntutan pekerjaan ketimbang pilihan ajaran keagamaan. Karena itu, belum bisa juga disimpulkan bahwa para hijabers adalah orang-orang yang kualitas keberagamaannya lebih baik ketimbang yang tidak mengenakan hijab atau jilbab.
Membacalah dengan perspektif dan kacamata yang luas bukan dengan "kacamata" kuda. Jadilah elang atau rajawali, bukan kodok yang bersembunyi di dalam "gentong" atau tempurung yang sempit.
Illustrasi : hijab syari ala syahrini dan hijab/mantel tebal ala Fatima azzahra ( Putri Rasul Muhammad SAW.)
0 komentar:
Posting Komentar