Assiry gombal mukiyo, 22 September 2015
-Jika ada murid disebuah sekolah tidak mengerjakan tugas dari Guru kemudian Guru tersebut menghukum muridnya dengan disuruh membentur-benturkan kepalanya sendiri ke bangku 80 kali hingga gegar otaknya maka itulah pendidikan "madzhab asu".
-Jika masih ada sekolah yang suka mengadakan semacam istighosah akbar untuk menghadapi ujian nasional dengan menjual rengekan dan tangisan yang melibatkan seluruh siswa peserta ujian nasional, guru, bahkan orang tua siswa, yang dikemas secara “religius”, dengan jalan berdoa massal yang disertai tangisan sesenggukan maka inilah sistem pendidikan "madzhab asu".
-Jika masih saja kita menganggap kesuksesan terletak pada ijazah dan gelar -gelar akademik sehingga banyak kampus -kampus yang " nekad" memwisuda para sarjana yang sesungguhnya tidak pernah kuliyah hanya cukup membayar sejumlah uang tertentu maka tanpa kita sadari kita ini betul -betul sudah menjadi "asu".
Apakah yang akan dihasilkan jika sistem pendidikan yang kita anut bukan madzhab cinta dan kemesraan tapi madzhab asu yang penuh kekerasan dan asu-asuan. Bukankah pendidikan kita menganut prinsip ing ngarso sungtulodo ( yang didepan, yang mendidik, yang menjadi pemimpin itu menjadi sosok teladan yang dicontoh).
Apakah gerangan yang bercokol dalam isi otak kita hanya karena ingin ujian Nasional para siswa diruwat dan istighosah. Dalam hati saya bagaimana mungkin Allah akan mengabulkan atau setidaknya memberkahi kita kalau kita tidak rajin menyapa-Nya? Jarang bertemu dengan-Nya? Tidak pernah menempatkan-Nya di hati kita setiap saat? Benar dan pasti Allah memang maha rahman, yakni mencintai umat manusia dan segala ciptaan-Nya. Namun kali ini kita sedang berbicara soal dialektika cinta dengan-Nya. Cinta Allah memang meluas (rahman), namun juga mesti diingat, bahwa Ia akan memberi barokah hanya kepada orang-orang yang memang sudah menyiapkan hati dan jiwanya untuk tempat persemayaman-Nya. Hanya orang-orang yang rajin menyapa Allah saja yang akan menerima barokah ini. “Sialnya” kita selama ini hanya diajarkan untuk selalu “meminta” kepada-Nya, seakan Allah itu hanya sesosok “sinterklas”.
Kita anak -anak sekolah diajarkan untuk meminta sesuatu ketika butuh. Ini budaya keliru yang harus diluruskan.
Mengapa hal ini saya tanyakan? Sederhana saja, dalam kehidupan keseharian, kita perlu bertanya kepada diri sendiri, apakah kita selama ini sudah “menjalin” cinta yang “mesra” dengan Allah SWT? Fenomena menjelang ujian nasional (misalnya) menunjukkan, bahwa dunia pendidikan juga alpa membentuk pondasi kemesraan dengan Allah sebagai pendamping hidup dan sistem nilai untuk “mengoperasikan” ilmu pengetahuan yang bermanfaat bagi masyarakat luas.
Istighosah, zikir akbar, doa nasional, mujahadah, dst, terlepas apapun alasannya merupakan kegiatan yang sangat baik. Masalahnya dalam “kasus” istighosah menjelang ujian nasional, ada satu pertanyaan penting: apakah benar ujian nasional itu “meneror” sedemikian berat dan kelak akan berhubungan dengan pengadilan Allah, sehingga anak-anak harus diajari “bertaubat massal” kemudian “menodong” Allah. Bukankah ujian — apapun namanya — hanya peristiwa biasa yang harus dialami para siswa. Karena ujian adalah tahapan untuk memahami apakah siswa sudah dapat mencapai standar kompetensi tertentu dalam menerima pelajaran.
Dalam sistem pendidikan kita banyak kerancuan terjadi. Pendidikan dipahami hanya sebatas peristiwa pengajaran, itu pun hanya yang paling dangkal. Guru masih bermental mengajar, sehingga jarang tampil sebagai fasilitator atau motivator, apalagi sebagai penggugah atau penantang yang membuat murid gelisah sehingga mereka tertantang untuk lebih rajin “iqro” agar kelak lebih dahsyat dari gurunya. Para guru lupa mengingatkan kepada muridnya bahwa Allah hanya akan meninggikan beberapa derajad orang yang berilmu pengetahuan.
Sialnya yang dikejar murid dan dianjurkan oleh sistem pendidikan umumnya hanya untuk mencari sesobek ijazah dan bukan ilmu pengetahuan.
Sehingga wajar saja beberapa Kampus mengiming -imingi ijazah sarjana dengan sejumlah uang tertentu meskipun tanpa kuliyah sekalipun. Ketika para wisudawan tersebut ditanya " Anda kuliyah di kampus apa dan materi apa saja yang sudah anda pelajari?" Beberapa diantaranya hanya bisa "plonga-plongo koyo kebo" ( bingung seperti kerbau). Dalam hati saya bergumam "Lha wong kebo ko diwisuda" Ini sesungguhnya yang kebo itu kampusnya, mahasiswanya, sistem pendidikannya atau jangan -jangan tanpa kita sadari kita sudah menjadikan prinsip kebo sebagai panutan dan dasar negara kita Indonesia menggantikan Garuda Pancasila.
Wajar Allah akhirnya tidak memberi derajad kepada mereka. Dengan kata lain, pendidikan hanya dimaknai sebatas mencari ijazah untuk bekal menjadi bagian yang sangat patuh di sekrup birokrasi atau kapitalisme, tanpa humanisme, apalagi religiusitas yang mendalam. Akhirnya pendidikan banyak mereduksi kreativitas dan daya juang siswa karena dibatasi pagar-pagar birokrasi dan sistem ujian atau kurikulum yang justru malah melemahkan potensi unggul yang sebenarnya diberikan Allah (ahsan taqwim).
Istighosah — sadar atau tidak — akhirnya hanya menunjukkan ada tawar menawar yang bersifat pragmatis belaka, dan bukan sebuah peristiwa religiusitas atau hubungan kemesraan antara Allah dan hamba-Nya. Kalau tudingan saya ini benar, maka berarti hal ini adalah bagian kelemahan dari sistem pendidikan nasional.
Dalam dunia persekolahan tidak diajarkan bagaimana murid mampu menemukan Tuhan, bahkan lewat pelajaran agama sekalipun. Pelajaran agama banyak yang diarahkan hanya kepada pemahaman hafalan fiqh, itu pun yang sangat dangkal, dan tidak diajarkan menemukan Allah, atau menanamkan cinta agar Allah menjadi tuan rumah di hati para murid. Pelajaran agama menjadi hanya pelajaran tentang agama, dan tidak lebih dari itu. Murid hanya dikenalkan hitungan untung rugi dalam beragama, pahala-dosa, surganeraka, halal-haram, dst. Tentu saja saya sedang tidak mengatakan bahwa pelajaran itu tidak penting. Saya hanya ingin menandaskan bahwa jika materi pelajaran itu sudah mendominasi, maka pelajaran agama akan tidak banyak berarti untuk membentuk pribadi murid menjadi manusia yang ahsani taqwim, makhluk yang hanya mencintai dan meletakkan Allah dan Rasul-Nya di hati mereka.
Ada satu kerancuan dan "pen-ndobol-an" yang serius dalam dunia pendidikan, yakni seakan masalah “agama” atau “ketuhanan” hanya diserahkan kepada guru agama, sehingga guru mata pelajaran yang lain, seperti Fisika, Matematika, Kimia, dst, tidak berkewajiban “mengenalkan” Tuhan kepada para murid.
Padahal melalui pelajaran Fisika misalnya, para guru sekaligus juga dapat menanamkan religiusitas dan rasa cinta kepada Allah. Ketika guru Fisika menerangkan sub pokok bahasan pelajaran tentang tata surya misalnya, guru juga dapat secara langsung menghubungkannya dengan kebesaran Allah, atau kalau itu di sekolah “Islam”, langsung dapat dikaitkan dengan ayat-ayat di Al Qur`an yang demikian komplit mengabarkan ilmu astronomi. Ini berarti mata pelajaran yang dianggap “sekuler” seperti Fisika, Kimia, Matematika, Biologi, dst dapat digunakan sebagai “media” untuk menanamkan rasa cinta siswa kepada Allah.
Ini adalah salah satu cara yang paling mengena agar siswa mendapatkan pondasi ketuhanan yang kuat. Mengapa hal ini saya tekankan? Sederhana saja, usia SD, SMP, dan SMA adalah usia yang paling “kritis” untuk “ditanami” religiusitas. Kehancuran dan kemunduran negeri ini bermuara dari kealpaan para pemimpin yang benar-benar menempatkan Allah dan Rasulullah di dalam hatinya. Para pemimpin, ilmuwan, birokrat, pedagang, pengusaha, dst, adalah pilar bangsa yang harus meletakkan Allah dan Rasul-Nya di dalam hatinya. Jika ini alpa, yang terjadi adalah malapetaka karena negara dan masyarakat tidak berada dalam jalur menuju jalan-Nya.
Singkatnya, pelajaran di sekolah — apapun namanya — harus sanggup menanamkan tiga hal sekaligus: 1). Keterampilan hidup; 2). Nilai-nilai hidup dan pandangan hidup; 3). Religiusitas Para murid mestinya selalu dibimbing dan diarahkan untuk tidak salah dalam menyikapi hidup ini dan jangan sampai keliru, agar mereka kelak tidak menciptakan tuhan baru dalam hidupnya. Jika kita mampu mendidik siswa dengan benar, maka Insya Allah “sekularisasi” bakal terhindar.
Kalau cara -cara menghukum siswa dengan "cara binatang" dengan praktik yang tidak manusiawi masih terus dijalankan bagaimana mungkin mereka bisa menjadi generasi yang bermartabat sebagai manusia?
0 komentar:
Posting Komentar