Dalam teori suggestopedia disebutkan bahwa tanpa penghormatan seorang murid (orang yang butuh Ilmu) terhadap Ustaz / guru, maka informasi yang berkaitan dengan ilmu yang disampaikan seseorang tidak akan bersifat permanen. Inilah yang menjadi akar dari mubadzirnya ilmu yang luber sia -sia atau tidak memberi manfaat.
Menyimak esensi dari teori ini, kita bisa menyimpulkan bahwa menghormati guru-guru bukanlah kepentingan dan kebutuhan mereka tapi kebutuhan kita sendiri karena dari gurulah kita menemukan kepada jalan cahaya ( annur), karena ilmu adalah cahaya (il ilmu nurun ) yang menerangi kegelapan ( kebodohan) .
Tidak bisa dipungkiri juga ada beberapa alumni pesantren yang ilmunya tidak bermanfaat dan tidak berkembang hanya monoton dan jalan ditempat, barangkali prestasi dan aura dzauq dari ilmu itu luntur. Hal ini sangat bisa jadi dikarenakan mereka kurang ta'dzim pada pengasuh atau ustadz-ustadzahnya atau yang sering terjadi adalah tidak meminta ijin/ridho guru ketika akan menjalankan atas hal -hal yang berkenaan dengan keilmuan yang sudah diberikan oleh guru tersebut.
Umumnya, pendidikan di pesantren yang dikedepankan adalah masalah akhlaq. Sehingga sebagaimana yang dikemukakan oleh Prof. Imam Suprayogo bahwa ukuran keberhasilan pendidikan pesantren bukan sebagaimana pendidikan diluar pesantren yang berupa nilai yang tinggi, dan prestasi akademik. Ukuran yang bisa digunakan sebagai barometer keberhasilan dipesantren adalah kepatuhan, ketawadhu'an, dan keikhlasan beramal. Jika dicermati ukuran-ukuran tersebut lebih didominasi masalah penataan hati dan hal itu perlu proses latihan yang kontinyu.
Satu lagi hal yang sangat penting yang menjadi faktor kemanfaatan serta keberkahan ilmu para santri yaitu doa dari para masyikh atau para kyai bu nyai, ustadz dan ustadzahnya. Mereka rela mengurangi jatah tidur dimalam hari dan berpuasa disiang hari untuk mentirakati dan mendoakan para santrinya. Beberapa Guru dan Kiyai zaman dulu bahkan ada yang puasa 3 tahun untuk mentirakati santri -santrinya, puasa 3 tahun untuk masyarakatnya dan puasa 3 tahun lagi untuk anak-anaknya. Hal ini lah yang mungkin perlu ditingkatkan dilingkungan pendidikan di luar pesantren.
Seharusnya umat Islam itu memiliki peluang yang sangat besar untuk menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi, sehingga mampu memimpin peradaban dunia. Apalagi semua ilmu pengetahuan jelas sudah tertera di dalam Al Quran. Nah dari dasar inilah kita kudu terus mengejar keilmuan apapun bukan hanya ilmu agama tapi juga ilmu-ilmu yang berkaitan teknologi harus seimbang.
Ranah pendidikan yang dikembangkan di luar pesantren biasa kita sebut dengan kognitif ( pengetahuan ), psikomotorik ( keterampilan ), dan afektif ( sikap ).
Pada prakteknya dibanyak sekolah, wilayah kognitif dan psikomotoriklah yang banyak ditekankan. Jika hal ini dibiarkan terus berkepanjangan, maka pendidikan akan kehilangan ruhnya. Karena jiwa pendidikan adalah perubahan perilaku dari yang belum atau tidak baik menjadi lebih baik. Jika ilmu dan keterampilan didapat namun akhlaq tidak disuburkan maka pendidikan akan menuju kepada kehancuran.
Mengutip pendapat dari Imam Al Ghazali mengenai keutamaan akhlaq dan ilmu. Beliau mengatakan bahwa ibarat masakan soup, ilmu itu bagaikan garam, sedangkan akhlaq seperti kuahnya. Harus lebih banyak kuah dibanding garam, jika sebaliknya, maka soup itu tidak akan bisa dikonsumsi alias muspro tanpo guno ( red: mubadzir).
Sudah kita ketahui bahwa "pesantren" adalah sistem pendidikan asli Indonesia yang luar biasa. Sistem pendidikan terbaik yang bahkan Oxford dan Cambridge pun menirunya. Sayang, di negeri sendiri, pesantren malah dimarginalkan. Terkadang saya susah untuk mengerti.
Sudah saatnya kita sadar dan bangga dengan milik kita sendiri, bangga mewarisi kearifan para leluhur kita.
Meskipun saya belum pernah kesana, tapi kita bisa melihat diberbagai berita online tentang kampus tersebut yang memilki komplek dua kampus.
Sampean akan menemukan kumpulan college-college yang tak ubahnya asrama-asrama di pesantren. Di setiap college, terdapat sebuah gereja, lecture hall, dining room, dan asrama yang diketuai seorang profesor yang paling berpengaruh di college tersebut. Yang tak jauh bedanya dengan asrama santri dengan masjid, tempat mengaji, pemondokan, kantin yang diasuh oleh kyai. Tak hanya penampakan fisik, sistem pendidikanya pun tak ubah sistem sorogan dan bandongan di pesantren.
Dari bilik-bilik sederhana di pesantren itulah, kita memukan nilai-nilai kebajikan hidup yang terus jadi pegangan hidup hingga saat ini. Dari wajah-wajah yang sejuk dipandang dari para kiai itulah, kita temukan kembali inspirasi hidup bak lentera yang tak pernah padam di dalam jiwa. Dari do’a-do’a tulus para ustad, ustadzah, pak yai, dan bu nyai itulah, kita merasakan keberkahan hidup hingga saat ini. Dari itulah dengan menghormati mereka sama halny kita menjunjung ilmu kita menjadi lebih tinggi nilai dan derajatnya bagi kemanfaatan dan keberkahan ilmu yang kita reguk.
Di jaman ketika semua ada label harganya. Di jaman ketika rupa dan angka dipuja. Miris rasanya, merenungi sekolah dan universitas tak ubahnya seperti pabrik-pabrik yang memproduksi produk masal. Mencetak manusia-manusia setengah robot yang nyaris kehilangan sisi-sisi kemanusianya, yang nyaris mati sisi-sisi spiritual nya. Manusia-manusia yang dituntut seragam kompetensinya, dan sesuai standard kebutuhan industri-industri pengeruk keuntungan materialistis. Manusia-manusia yang pada akhirnya menuhankan makhluk bernama Uang.
0 komentar:
Posting Komentar