Assiry gombal mukiyo, 28 Agustus 2015
Cinta: sebuah pengertian yang menggetarkan hati dan membingungkan selama berabad-abad. Kita tak bisa merumuskannya. Ia bukan bagian dari yang secara konseptual kita ketahui nahkan sebut saja gila jika kita menggunjingkan akan mskna cinta itu sendiri.
"Cinta tak punya definisi", konon demikianlah kata Ibnu Arabi, sufi dan pemikir kelahiran Spanyol dari abad ke-12 itu dalam risalahnya, Futuhat. "Ia yang mendefinisikan cinta berarti tak mengenalnya...sebab cinta adalah minum tanpa hilang haus".
Cinta: Apakah seperti cinta yang digambarkan Rabiah al adawiyyah seorang tokoh sufi wanita yang berpandangan bahwa cinta berasal dari kata Hubb yang berarti kendi. Artinya jika hati sudah penuh oleh apa yang dicintainya maka tumpahlah selain yang dicintanya itu.
Cinta yang "dijlentrehkan" Rabiah bukan cinta yang biasa tapi sungguh cinta yang agung. Bagaimana tidak, pernah suatu malam dia membawa obor ditangan kanannya dan seember air ditangan kirinya, lalu dia berteriak lantang:
"Malam ini aku akan bakar surgaMu wahai Rabb dan akan kusiram hingga padam nerakaMu, biar tidak ada lagi manusia yang beribadah kepadaMu hanya karena ingin surga dan takut akan Nerakamu".
Cinta atau keridhaan kita kepada Allahlah sebenarnya yang dimaksudkan oleh Rabiah dalam beribadah bukan pengharapan akan surga yang berlebihan. Kalau boleh saya tafsirkan adalah jika kita beribadah kepada Allah karena cinta tentu yakin Allah memberikan surgaNya. Tapi jika kita mencari Surga maka belum tentu surga yang kita dapatkan bisa jadi malah neraka yang kita raih.
Cinta: kita hanya menangkapnya sebagai proses. Ia tak pernah bisa dipotret utuh. Jalaluddin Rumi, sufi yang paling mashur mengungkapkan pengertian itu, menyebutnya Ishq, Cinta adalah "laut ke-Tak-Ada-an," kata Rumi. Tabir kerahasiaan selalu mengerudunginya. "Apapun yang kau katakan atau lakukan untuk menanggalkan tabir itu, kau akan menambahkan selapis tabir lagi di atasnya". Menemui Cinta,"intelek lumpuh kakinya".
Agaknya karena itu, dalam ribuan baris masnawi dan diwannya, Rumi hanya mengemukakannya dalam kiasan, dalam alegori dan dalam bentuk negasi -- dengan sederet kata bukan: Cinta adalah "sebuah pohon yang tegak bukan di atas tanah bukan di atas pokok, bahkan bukan di mahkota Surga".
Cinta: Agaknya terlalu tinggi jika gambaran atau visuslisasi tentang makna cinta yang begitu dasyat itu. Bagi saya cinta cukup yang sederhana saja bagai gemuruh awan yang selalu mengiringi hujan. Cinta adalah kebaikan dan ketulusan tanpa batasan-batasan apapun baik kepada pasangan kita atau apapun itu dan puncaknya adalah maha daya cinta kepada Rabb Al 'Zzat.
Jika berkali -kali saya gagal membangun kemesraan cinta saya seperyi mentari yang selalu menyeka airmata embun hingga kering ketika pagi tiba.
Hal itu bukan berarti saya adalah makhluk yang tidak penyayang atau mati cinta sehingga mudah untuk berganti musim dan cuaca cinta. Melainkan adalah sebuah kebahagiaan yang saya rasakan puncaknya ketika siapapun yang saya cintai bisa menemukan kebahagiaan dalam bejana cinta lainnya, meskipun remuk redam hati ini, meskipun entah berkeping dan mungkin tidak bisa dibayangkan lagi.
Berkali -kali saya harus ikhlas atas oase cinta yang pernah menyuburkan kaktus masa depan yang gagah dalam hamparan gersangnya hidup yang saya jalani. Itulah cinta menurut saya antara emosi menahan lara, dan pengikhlasan ketika mau tidak mau, suka maupun tidak suka hati ini tetap kokoh membuka gerbang pintu kebahagiaan selebar -lebarnya bagi yang saya cintai. Setegar mungkin saya katakan bahwa saya menyayangimu meskipun sudah terlambat.
Ouhhh cinta.......Bagi saya inilah gula - gula cinta. Maka Cinta tak akan bisa hidup bersama perhitungan untung rugi, tidak bisa dikalkulasi dengan hitungan waktu, tak mampu difikirkan dengan logika atau nalar, tak bisa dipakai dalam siasat politik. Juga tak bisa menerima doktrin yang membekukan pikiran dan perasaan. Cinta berani lepas dari itu semua. Ia mengembara, mencari terus menerus, mencoba memasuki misteri yang dihadirkan Tuhan dalam hampsran yang tiada batas.
Agaknya bukan kebetulan jika Cinta -- yang bergetar di dasar hidup para sufi -- terasa intens sebagai perlawanan ketika kekuasaan jadi tujuan hidup orang-orang yang seharusnya dekat dengan Tuhan.
Kisah yang lebih terkenal adalah bagian dari otobiografi Al Ghazzali, al-Munqidh min al-Dhalal ("Selamat dari Sesat"). Bagaimana dilema yang dialami ulama besar pada abad ke-12 itu: Al Ghazzali menikmati posisi yang makmur sebagai tokoh agama yang jadi pengajar utama Perguruan Nazimiyah di Baghdad, tapi ia juga tahu integritas dirinya pelan-pelan rusak. Selama hampir enam bulan ia terombang-ambing "antara daya tarik duniawai dan dorongan ke kehidupan yang kekal". Akhirnya ia meninggalkan kota besar yang gemerlap itu, Baghdad; ia pergi mengembara.
Ia mungkin bukan digerakkan Cinta seperti Rumi. Tapi ia tahu Tuhan tak ada di dekat kursi tempat orang pamer kepandaian dan memajang kealiman. Ia tahu Tuhan tak dapat dijangkau dengan nalar laba-rugi; sang sufi memilih Cinta Illahi dan sunyi hidup membujang sendiri hingga akhir hayat menanti.
0 komentar:
Posting Komentar