Fatwa MUI ( Majlis Uang Indonesah) dinegeri antah berantah memang ada benarnya, tapi salahnya lebih banyak dari benarnya. Fatwa MUI menjadi budaya "kelirulogi". Benarnya agar pemerintah ini memperbaiki, yaitu ada akad yang jelas dan tidak ada denda dan perbaikan dalam pelayananannya.Tapi salahnya seperti tidak ada kerjaan lain saja, hanya bikin fatwa haram.
Saya dalam hal ini tidak sedang membicarakan MUI di negeri tetangga kita Indonesia. Karena yang pasti MUI disana lebih bijak dalam berfatwa dan tidak suka "mengumbar fatwa".
Tetapi yang saya maksudkan disini adalah MUI atau Majlis Uang Indonesah di negeri kita yakni negeri antah berantah, Negeri yang bagai surga untuk soal mendesah dan korupsi sah.
Menurut saya, Majlis Uang Indonesah ini seperti melempar mercon di tengah kerumunan. Ini salah satu langkah yang keliru meskipun kita tidak perlu mencari yang benar dan menunjuk siapa yang salah. Tapi mari mencari apa dan bagaimana langkah yang bijak. Karena langkah yang diambil MUI untuk berfatwa sangat tidak bijaksana. MUI memang berhak mengeluarkan fatwa, tetapi perlu juga diingat bahwa di negeri Antah berantah ini adalah negara yang majemuk. Indonesah tidak bisa disamakan seperti negara-negara di Timur Tengah yang homogen, yang bisa membuat fatwa mengikat seluruh warga negara.
Tapi di sini ada NU, MUI, Muhammadiyah, dan bahkan kelompok-kelompok Islam yang kecil yang lain, yang kadang-kadang tidak sesuai atau sepakat dengan fatwa MUI tersebut juga ada agama -agama lain yang tentu "nggeguyu" (red: menertawakan) persoalan -persoalan kecil bangsa yang mestinya bisa diselesaikan dengan "mereka" berembug dan duduk bersama dengan Pemerintah negeri antah berantah jika memang dari awal BPJS kesehatan ini dianggap riba dan semacamnya. Ndak ada angin ndak ada hujan tiba -tiba mak dor " BPJS haram !".
MUI ini seperti anak sekolah yang habis "diplonco" oleh sistem OSPEK Pemerintah dengan tidak lagi mendapatkan kucuran dana dari pemerintah Indonesah kemudian "ngambek" lantas mengeluarkan jurus Dewa Mabuk lalu mengeluarkan ajian yang kita sebut sebagai "FATWA" gendeng.
Apalagi MUI di negeri kita Antah Berantah ini mengusulkan kepada pemerintah adalah sistem BPJS Syariah. Saya sendiri sangat yakin "ainu al yaqin" perubahan dari BPJS konvensional ke BPJS Syariah tidak akan mengubah apa pun.
"Sekarang ini muncul istilah-istilah yang lebih syariah atau yang Islami. Ini lagi-lagi persoalan label. Jadi seperti bank, ada yang konvensional ada yang syariah. Tapi praktiknya sama, hanya istilah-istilahnya saja yang berbeda.
Contoh tentang nama Bank Syariah yang ada sekarang banyak dipakai untuk kepentingan ekonomis saja. Logikanya, jika orang pindah agama dari islam menjadi Kristen atau sebaliknya, ia sudah tidak menjalankan agama yang terdahulu.
Nah, di Indonesia ini tidak. Bank tertentu membuka system konvensional, lalu kemudian membuka bank syariah dan menjalankannya secara bersama-sama. Bukan system konvensional ditinggal ganti syariah tapi tujuannya justru memperluas segmen pasar ini kan 'pe-ndobol-an publik'.
Besok -besok kalau pengelola bank ditanya malaikat Munkar dan Nakir, kenapa namanya Bank syariah tetapi tetap ada ribanya?” terus para pegawai Bank itu menjawab “Kami kan hanya menulis syariah (berarti jalan) di belakang nama bank, bukan Syariat Islam. Jadi yang salah si nasabah dong bukan pengelola Bank" terus Malaikatnya "bengong". Ujar Cak Nun.
Mestinya MUI maupun pemerintah Negeri antah berantah untuk segera mengambil tindakan demi menenangkan masyarakat. Jika gonjang-ganjing masalah BPJS kesehatan ini dibiarkan bebas bergulir, maka akan muncul rasa antipati masyarakat kepada MUI itu sendiri.
Otoritas MUI sebagai pemegang fatwa akan menjadi tidak berarti. Saya khawatir masyarakat menjadi tidak peduli. Haram pun akan dia lakukan karena tidak percaya dengan fatwa. Karena ada situasi dan kondisi yang lebih penting bagi orang-orang miskin terutama agar bisa mendapatkan "pelayanan kesehatan" bukan soal halal atau haramnya yang diributkan.
Sudah kita ketahui bersama bahwa MUI atau Majlis Uang Indonesah ini sudah berkali -kali berpolemik dan menyulut perpecahan ummat karena seringnya mengobral fatwa. Semoga juga fatwa Haram yang "diagendakan" MUI bukan karena "ngambek" dan melakukan langkah pembenaran dengan Fatwa tersebut. Yah ini bisa jadi perlu diperhatikan barangkali ada sebab ada juga akibat karena Pemerintah Negeri antah berantah sudah tidak lagi memberi aliran dana semenjak 2015 ini. Entahlah....Namanya juga Negeri Antah berantah.
0 komentar:
Posting Komentar