Assiry gombal mukiyo, 08 Juli 2015
Perlu kiranya saya "tabayyun" atau memperjelas kembali dengan banyaknya
pendapat dibeberapa media cetak dan online /website yang melarang atau
mengharamkan mendekorasi atau membuat hiasan kaligrafi dimasjid. Mari
kita luruskan mindset kita tentang apa itu iluminasi/hiasan atau
kaligrafi masjid sebagai bagian terpenting dari arsitektur Masjid itu
sendiri.
Meskipun memang masalah menghias masjid pernah juga
diperselisihkan para ulama di masa lalu. Namun perselisihan mereka
berangkat dari kenyataan bahwa hiasan itu sangat mahal, karena terbuat
dari ukiran kaligrasi dan aksesorisnya yang terbuat dari emas dan perak.
Sehingga para Ulama mengambil hukum haram karena termasuk bermegah
-megah dalam urusan Masjid adalah haram.
Berbangga-bangga dengan
cara seperti inilah yang pernah dikecam oleh sahabat Anas bin Malik
Al-Anshoriy -radhiyallahu anhu- ketika beliau berkata,
يَتَبَاهَوْنَ بِهَا ثُمَّ لاَ يَعْمُرُوْنَهَا إِلاَّ قَلِيْلاً
“Mereka berbangga-bangga dengan masjid-masjid, lalu mereka tidak
memakmurkannya, kecuali jarang.” (HR. Al-Bukhoriy dalam Shohih-nya
secara mu’allaq dengan shighoh jazm: Kitab Ash-Sholah; bab (62): Bun-yan
Al-Masjid (hal. 97), cet. Darul Kutub Al-Ilmiyyah, 1428 H)
Adapun hiasan yang biasa kita lihat di masjid-masjid di sekeliling kita
ini, tidak lain hanya terbuat dari cat tembok. Indah memang, tetapi
hanya imitasi belaka. Bukan emas dan perak seperti di masa lalu. Kalau
hanya berupa kaligrafi dengan cat tembok, rasanya tidak ada nash yang
secara langsung melarangnya. Sebaliknya, bila hiasan itu sampai
menghabiskan dana yang teramat mahal, karena harus menghabiskan emas
berton-ton, tentu haram hukumnya.
Apalagi mengingat bahwa masjid
nabawi di masa Rasulullah SAW itu sangat sederhana. Hanya sebagiannya
yang beratap, itupun hanya berupa daun kurma. Alasnya bukan marmer,
tetapi tanah atau pasir. Tiangnya bukan beton tetapi hanya batang-batang
kurma. Dan hal itu terjadi hingga masa Al-Khulafa’ Ar-Rasyidun. Barulah
pada masa khilafah Al-Walid bin Abdil Malik, masjid-masijd dihias,
yaitu dengan ukiran kaligrafi dari emas dan perak.
Realitas ini
kemudian disimpulkan oleh sebagian ulama sebagai isyarat tidak bolehnya
kita menghias masjid dengan hiasan yang mewah. Bahkan oleh sebagiannya
dianggap bid’ah, buang harta dan haram. Namun masalah ini memang sejak
awal termasuk masalah khilaf pada fuqaha. Bahkan ke-empat imam mazhab
utama pun tidak seragam pendapatnya.
Al-Hanafiyah beranggapan
bahwa tidak mengapa untuk menghias masjid dengan beragam ukiran dan
kaligrafi. Asalkan bukan pada bagian mihrabnya. Alasannya, agar orang
yang shalat tidak terganggu konsentrasinya. Yang dimaksud ukiran di
masjid adalah membuat hiasan dengan tatahan emas atau perak.
Namun
bila dana yang digunakan untuk hiasan itu berasal dari harta waqaf
secara umum yang niatnya untuk masjid, menurut beliau hukumnya haram.
Jadi yang boleh adalah harta dari seseorang yang niatnya memang untuk
keperluan perhiasan itu.
Al-Malikiyah memakruhkan penghiasan
dinding masjid, termasuk atapnya, kayunya dan hijabnya, bila hiasan itu
terbuat dari emas atau perak dan bila sampai mengganggu konsentrasi para
jamah yang shalat. Namun bila hiasan itu di luar apa yang disebutkan,
tidak ada kemakruhannya.
Mazhab As-Syafi’iyah sebagaimana yang
disebutkan oleh Az-Zarkasyi mengemukakan bahwa mengukir masjid itu
hukumnya makruh, terutama bila menggunakan harta waqaf yang
diperuntukkan buat masjid secara umum. Sebab harta waqaf buat mereka
tidak boleh diubah pemanfaatannya begitu saja.
Al-Hanabilah
adalah satu-satunya mazhab yang tegas mengharamkan penghiasan masjid.
Buat mereka, bila masjid sudah terlanjur dihias dengan emas dan perak,
wajib untuk dicopot.
Pendapat mereka ini dikuatkan juga dengan hadits berikut:
لا تقوم الساعة حتى يَتَباهَى الناس في المساجد
Tidak akan terjadi hari kiamat kecuali orang-orang berbangga-bangga
dengan masjid. (HR. Ahmad dan Ashabussunann kecuali At-Tirmizy)
Para ulama banyak yang memaknai sabda Rasulullah SAW tentang
berbangga-bangga dengan masjid ini sebagai bentuk penghiasan masjid
dengan ukiran/kaligrafi emas dan perak pada dindingnya. Dan oleh
sebagian ulama dijadikan sebagai isyarat tidak bolehnya kita menghias
masjid dengan hiasan yang mewah.
Jadi barangkali para takmir di
masjid cenderung kepada pendapat mazhab Hanabilah yang secara tegas
mengharamkan penghiasan masjid maka
Mohon untuk dikaji kembali pendapat Ulama tersebut atas substansi pengharaman terhadap hiasan ataupun kaligrafi itu.
Meskipun sesungguhnya konteks yang diharamkan di masa lalu adalah
hiasan yang terbuat dari emas dan perak yang berlebihan dan bahkan
cenderung bermewah -mewahan.Sedangkan yang bukan terbuat dari emas dan perak, tidak menjadi masalah.
Namun demikian Muhammad Abduh salah seorang ulama kontemporer justru
mengatakan "jika memang niatnya untuk mengagungkan Al Quran yang memang
jelas keagungannya maka wajib hukumnya menghias ayat Al Quran dengan
emas dan perak, karena tidak ada satupun yang sanggup menyamai keagungan
dan kemuliaan Al Quran meskipun emas dan perak sekalipun".
Letak
pelarangan oleh para Ulama itu atas hiasan yang terbuat dari emas dan
perak tersebut karena dikhawatirkan timbul kesenjangan sosial dan
bermewah -mewah yang cenderung berlebihan.Jika kita perhatikan
masjid Al-Haram Makkah dan Al Munawwarah Madinah , di mana keduanya
dihias dengan marmer yang pasti harganya sangat mahal. Disetiap dinding
dihiasi ornamen kaligrafi juga tidak luput dari sentuhan cita rasa seni
hias yang adiluhung.
Bahkan setiap lekuk kubah dan cincinnya
dihiasi tulisan kaligrafi dari ayat -ayat Al Quran yang apik oleh
Kaligrafer masyhur Syafiquzzaman Mesir. Syafiq Al Khatthath begitu ia
dikenal pernah memenangi berbagai hadiah dalam Kompetisi Kaligrafi
tingkat Internasional di Istanbul, Turki dan merengkuh banyak piala dari
berbagai kompetisi yang dia ikuti ditingkat dunia. Ratusan orang Arab
dan orang Turki bahkan mendapuk Safik sebagai 'guru besar' dalam urusan
kaligrafi.
Sungguh menakjubkan bahwa Safik belajar kaligrafi secara
otodidak dan menyebut dirinya sebagai sosok yang banyak terinspirasi
dari kaligrafer legenda abad ke-20, Ustadh Hamid Al-Amidi Al Khatthath.
Bahkan Menurut Syafik, dunia kaligrafi tidak akan pernah pudar. Dia
juga mengatakan telah menemukan kedamaian saat menulis kaligrafi di
Masjid Nabawi dan tidak dapat menemukan kedamaian itu ditempat lainnya.
Demikian juga Ka’bah al-Musyarrafah yang dihias dengan kaligrafi indah
terbuat dari benang emas dan kain sutera. Sementara umumnya mufti dan
penduduk Saudi Arabia adalah pemeluk mazhab Al-Hanabilah. Belum pasti,
apakah mereka diam saja karena takut atau setuju.
Tapi sekali lagi,
masalah ini memang merupakan perbedaan pendapat di kalangan para ulama,
baik di masa lalu maupun masa sekarang ini. Kita tidak perlu terperosok
pada perdebatan panjang masalah ini, karena masing-masing punya dalil
yang mereka yakini kebenarannya.
Bahkan ada yang lebih ekstrim
lagi, soal kaligrafi “Muhammad”, ada pendapat Syaikh Muhammad bin Sholih
Al-Utsaimin: “Membuat tulisan seperti ini (kaligrafi ) adalah tidak
benar, karena perbuatan ini telah menjadikan Nabi Saw sebagai tandingan
bagi Allah dan sesuatu yang menyamai-Nya. Jika ada orang yang melihat
tulisan ini –sedang ia tak tahu yang punya nama– maka pasti orang ini
akan meyakini bahwa keduanya (Allah dan Muhammad) adalah sama dan
semisal.” Beliau menambahkan bahwa menggabungkan nama Allah dan Muhammad
bisa mengantarkan kepada kesyirikan. Apalagi jika kaligrafi itu di arah
kiblat, hingga jamaah shalat terkesan rukuk dan sujud menghadap kedua
nama itu. Hal itu berisiko “menyamakan” Allah dan Rasulullah Saw.
Hemat saya, pengurus masjid yang memasang kaligrafi Allah dan Muhammad
seperti yang disebutkan oleh Syaikh Muhammad bin Sholih Al -Utsaimin,
tentu tidak bermaksud dan bertujuan membandingkan keduanya, apalagi
berniat dan bertujuan untuk menyamakan Nabi Muhammad dengan Allah,
sehingga hal inipun tidak bisa dikategorikan syirik dan sholat di masjid
tersebut sah.
Simpulan:
- Membuat hiasan /Kaligrafi di
masjid boleh dengan catatan tidak bermegah -megah dengan menggunakan
bahan yang mewah ( emas dan perak) yang berlebihan sehingga menimbulkan
ketimpangan sosial.
-Haram menghias Masjid menggunakan harta wakaf Masjid.
- Menempelkan Kaligrafi Allah Muhammad juga boleh dan hal itu tidak
bisa dikatakan atau dihukumi Syirik karena memang essensi niatnya bukan
untuk menandingkan antara Asma Allah dan Muhammad.
-Hiasan ataupun
kaligrafi boleh dibuat dengan catatan tidak mengganggu konsentrasi jamah
yang sedang sholat. Untuk itu perlu diperhatikan bagi Para Kaligrafer
agar lebih jeli dan memperhatikan posisi dan porsinya saat menghias
tempat mihrab dan dinding Masjid sehingga tidak menimbulkan kesan
berlebihan yang mengakibatkan mengganggu konsentrasi para Jamaah Sholat.
Illustrasi:
-Indahnya ornamen hias dan goresan ayat -ayat Al Quran oleh kaligrafer
Masyhur Syafiquzzaman di Kubah dan dinding Masjid Al Munawwarah
Madinah.
-Moleknya karya Santri -santri PSKQ Modern yang tergabung
dalam CV.Assiry art pada kubah Masjid Madaniyyah Mamuju Utara diameter
18 meter dan Masjid Al ihsan diameter 7 meter, Nunukan Kaltra. 2015.