Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas) yang gegap gempita dirayakan setiap tahunnya pada 2 mei lalu adalah formalitas dan ritual semu biar seolah -olah Bangsa ini sangat memperdulikan kemajuan pendidikan. Padahal tidak sama sekali.Buktinya diskriminasi pendidikan masih terjadi dimana-mana.Terutama pada dunia Pesantren.
Pemerintah pusat tidak pecus dan benar -benar serius mengakui sistem pendidikan pondok pesantren termasuk sistem pendidikan nasional. Ini diskriminasi pendidikan. Di Indonesia, Pondok Pesantren Diniyah Salafiyah misalnya tidak masuk program pendidikan Nasional.
Guru dan pengajarnya seperti gembel dan gelandangan yang tidak pernah tersentuh oleh Pemerintah. Alih -alih dapat tunjangan dari Pemerintah, gaji mereka bahkan nyaris tidak bisa membeli beras dan kebutuhan lainnya.
Inilah "ndobolnya" Pemerintah yang tidak bisa mengelola model Pendidikan di Indonesia.Pondok Pesantren Diniyyah salafiyah ialah sekolah keagamaan yang menerapkan sistem pendidikan konvensional. Tiap-tiap pesantren ini punya sistem silabus pendidikan sendiri-sendiri. Belum Lagi Pesantren Tahfidz, Pesantren Tilawah dan berkembang Pesantren Kaligrafi dan lainnya.
Karena tak dianggap memenuhi konsep pendidikan nasional, ribuan Santri lantas dimasukkan ke dalam program Kartu Indonesia Pintar dan dianggap buta huruf. Padahal meski tak mengenyam pendidikan umum, lulusan pesantren mampu membaca kitab gundul dan berbahasa asing seperti bahasa Arab. Artinya, selama ini mereka belum dinilai sejajar dengan lulusan pendidikan formal lainnya.
Berdasarkan Peraturan Pemerintah nomor 55 tahun 2007 tentang pendidikan agama dan keagamaan, kurikulum pendidikan sekolah keagamaan harus ada menambah mata pelajaran umum sebagai syarat penyetaraan. Pesantren wajib memasukkan pelajaran Kewarganegaraan, Bahasa Indonesia, IPA, dan IPS supaya tidak memerlukan kejar paket A, B, maupun C.
Inilah bodohnya Pemerintah.Konsep pemikiran Ki Hajar Dewantara sebagai Tokoh Pendidikan tidak hanya memberikan ajaran yang relevan untuk masa lalu, tapi juga untuk menyikapi kehidupan berbangsa dan bernegara saat ini.
Ki Hajar Dewantara dalam pemikirannya mengungkapkan bahwa dalam hidup seseorang hendaknya bisa melakukan Ing Ngarso Sung Tulodho , Ing Madya Mangun Karso, Tut Wuri Handayani. Artinya, ketika berada di depan atau menjadi pemimpin, bisa memberikan contoh yang baik, ketika kembali hidup di tengah masyarakat mampu memberikan motivasi dan semangat yang positif dan ketika sudah tidak mengemban tugas apapun dapat memberikan dorongan bagi lingkungannya untuk maju dan berkembang. Sehingga Dunia Pendidikan ndak kocar -kacir seperti ini.
Itu baru saya sebut soal kurangnya perhatian Pemerintah soal Dunia Pesantren, belum yang lainnya.
Sebenarnya Konsep Dasar Pendidikan kita cukup berpedoman pada tata nilai luhur warisan Nusantara dan sumber-sumber etika dan moral dari agama untuk menjadi pribadi yang tidak korupsi, tidak menyakiti orang lain dan seterusnya. Ambil saja misalnya larangan untuk berbuat Molimo (main, madon, mabuk, maling, madat, bisa ditambah satu lagi, yaitu mateni) sebagai pedoman hidup di Jawa, sudah itu saja dilaksanakan, maka hidup akan damai, harmonis, dinamis dan tidak merugikan satu sama lain dalam interaksi sosial.
Agar orang tidak korupsi( maling) kan tidak harus sekolah dulu, tidak harus kuliah dulu, cukup dengan berpikir menggunakan akalnya, bersumber dari nilai dan filosofi budaya Timur, maka orang tersebut tidak akan berbuat korupsi. Justru sumber tata kehidupan yang dinamis dan damai, bahagia, sejahtera, adil, dan seterusnya sumbernya adalah pada nilai dan filosofi—yang kemudian mewujud dalam ekspresi budaya.
Seorang hakim modalnya adalah rasa keadilan di dalam dadanya, bukan pasal-pasal dan ayat-ayat hukum normatif-positif. Kalau terbatas pada hukum-hukum normatif, maka pasal dan ayat tersebut terbatas kemampuannya, karena akan banyak sekali kasus hukum yang terjadi, sebab-musababnya berbeda, pertimbangan psikologis, sosial, budayanya juga berbeda, lagipula, sebenarnya produk undang-undang tersebut didasari oleh atau pengejawantahan, perwujudan, dari ideologi, nilai-nilai, filosofi kehidupan. Jadi, kalau kita hanya berpegang pada “produk” jadinya saja, tanpa tahu “asal-usul” produk tersebut, maka kita jadi kaku seperti yang terjadi pada kasus Simbah Asyani. Hukum akhirnya hanya terbatas, dan hanya pada level pengguna produk saja, belum pada level pemaham dan pemroduksi ketentuan undang-undang, peraturan, pasal dan ayat, baru sampai pada “syari’at” saja, belum “hakikatnya”.
Andaikata saya jadi Rektor kelak di Kampus yang saya dirikan, maka saya akan membangun asrama bagi mahasiswa, para mahasiswa baru wajib masuk dalam asrama tersebut minimal selama satu tahun, dan di situ didesain sedemikian rupa untuk menghasilkan iklim, budaya, dan “rasa” yang akan mendidik mereka secara intensif, selama 24 jam, sehari semalam.
Kita selama ini memiliki warisan desain pendidikan, yaitu Pesantren, namun dunia kampus modern tidak banyak belajar dari keunggulan yang dimiliki oleh pesantren. Mungkin yang diambil dari pesantren juga tidak semuanya, bukan tentang budaya “feodalnya”, melainkan pola mendidiknya, kedekatan intensif antara “senior” dan “yunior”, dan lainnya.
Banyak orang yang suka dan menikmati korupsi karena mereka tidak pernah merasakan nikmatnya memberi, berbagi, mereka hanya pernah merasakan nikmatnya korupsi, di sinilah sekali lagi, anak-anak kita, para mahasiswa kita dalam asrama tersebut dibelajarkan untuk merasakan betapa nikmatnya berbuat baik, nikmatnya beramal shadaqah, nikmatnya makan dari hasil jerih payah masak bersama, belajar ngantri mandi dan beol di Wc dan lainnya.
Literatur sejarah kita menunjukkan bahwa para Founding Father kita juga dididik dalam asrama-asrama hingga mereka bisa berkumpul-berserikat membangun gerakan untuk kemerdekaan bangsa.
0 komentar:
Posting Komentar