Hari ini Rabu 27 Mei 2015 sekitar Jam 13.00 WIB, saya tergopoh -gopoh menuju rumah kediaman Guru Saya Bp Hadi Dahlan Kudus, meskipun masih sangat sibuk mempersiapkan beberapa event Pameran besar yakni membuat Pameran di Resto Arjuna dan di Pendopo Kabupaten Kudus yakni pameran tunggal PSKQ Modern yang diikuti oleh Seluruh Santri PSKQ Modern dalam rangka akhirussanah tahunan.
Setelah sampai rumah beliau dua gelas Aqua habis dikerongkongan saya. Kebetulan saya mengajak teman saya Mas Abdul Hakim salah satu pelukis Realis dan Guru Batik di PSKQ Modern.
Banyak yang ingin saya tanyakan sebagai landasan dasar untuk belajar bersama dalam berkesenian.
Sambil merokok saya memulai pertanyaan ringan saya kepada Pak Hadi Dahlan.
" Pak Hadi, Bagaimana Membuat LUKISAN terlihat LEBIH ‘HIDUP’ ? Tanya saya pada Pak Hadi Dahlan.
“Teorinya sih gampang" jawab Pak Hadi. Persiskan saja bentuk dan warna dengan obyek yang dilukis.. pasti kelihatan hidup, Sudah dipersiskan…tapi kok belum terlihat hidup juga ya..?”
“Yaah … itu artinya belum persis betul… ! Jika sudah persis betul , pasti terlihat hidup, seolah ada nyawanya, rohnya, atau auranya …” Jelasnya.
Prinsip dasar (tehnik ) melukis realisme adalah : .
Setelah melalui proses panjang sehingga prinsip dasar itu cukup dikuasai, barulah mengarah pada “muatan / isi lukisan” seperti : thema, ide, gagasan,visi, misi, pesan dan sebagainya. Dan selanjutnya kedua hal tersebut ( tehnik dan isi lukisan ) berproses dan berjalan secara simultan, menyatu dalam diri seniman / pelukis .
Soal muatan atau isi lukisan terpulang pada masing-masing pelukis / seniman, karena setiap orang punya latar belakang ,pemikiran, pengalaman dan tujuan yang berbeda. Semuanya OK dan sah-sah saja" Tegas Pak Hadi . Saya dan Mas Hakim mlongo mendengarkan petuah Seninya.
“Meniru dengan persis dan membandingkan dengan tepat”.
Dialog Saya dengan Pak Hadi Dahlan di awal tulisan ini menunjukkan bahwa apa yang diyakini kebanyakan orang “sudah persis” itu ternyata sebetulnya belum persis, bahkan sering kali masih jauh dari persis, menurut kriteria lukisan realisme yang baik dan ideal.
Agar obyek di dalam sebuah lukisan realism bisa terlihat hidup maka harus persis dalam beberapa aspek sekaligus. Persis bentuknya, warnanya, karakter bendanya, karakter manusianya, ekspresinya, suasananya, dan seterusnya... dan semua itu harus tersusun dalam suatu perbandingan yang tepat dan harmonis.
Pertanyaannya adalah, Bagaimana mencapai kepersisan tingkat tinggi sehingga lukisan bisa terlihat hidup?
Kita tentu pernah dengar ungkapan klasik: “Alam adalah Guru yang Terbaik”. Nah di situ rahasianya.
Jadi … banyak-banyaklah belajar kepada alam. Cari dan Pelajarilah rahasia alam.Banyak mengamati dan ‘berdialog’ dengan alam.
Caranya adalah : bukan dari alam maya (foto), karena foto itu terbatas, banyak kekurangan dan kelemahannya. Sehingga kalau kita percaya total pada foto, siap-siaplah untuk kecewa karena foto sering kali menipu.
Saya sendiri melakukan dengan cara sebagai berikut: Selama 5 tahun pertama, saya mengharamkan diri menggambar maupun melukis dari foto. Semua lukisan saya buat dengan memakai model, obyek benda , manusia , alam secara langsung , total tanpa bantuan foto.
Setelah 5 tahun saya benar-benar sudah mengerti rahasia alam yang membuat lukisan bisa tampak hidup. Setelah yakin tak mungkin tertipu oleh kekurangan dan kelemahan foto, barulah saya menggunakan sedikit bantuan foto untuk membuat lukisan.Sedangkan porsi utama yang terbanyak adalah tetap: pengamatan dan perenungan intensif terhadap ‘alam’ (obyek lukisan ).
Banyak diantara kita yang sering kali salah memahami tentang konsep berkesenian. Misal saja melukis obyek manusia atau yang bernyawa. Beberapa kiyai yang bergelar "Ulama" kadang salah kaprah dalam menafsiri ayat atau menukil hadist bahwa melukis itu haram.
Pernah saya mengatakan " Haram ndasmu" kepada seseorang yang boleh dikatakan sebagai kiyai. Bagi saya halal-haram itu tidak pada benda, materi, tetapi pada manusia yang mengkhilafainya. Bagaimana cara mengkhalifai materi itu: benar atau salah, manfaat atau madlarat. Pisau bisa menjadi benda haram, kalau ia untuk membunuh sesama, tanpa alasan yang benar. Sebaliknya ia menjadi halal kalau digunakan “ngirisi sayure embahmu" untuk masak di dapur.
Kalau ada ilmu fikih maka ‘wajib’ ada ilmu Ushul Fikih. Kalau ada masakan, tentu ada caranya masak. Fikih itu makanan hasil olahan dapur Ushul Fikih. Maka yang menentukan sedap tidaknya masakan adalah caranya memasak. Metode masak hukum Imam Syafi’i dijlentrehkan dalam kitab ar-risalah, hasil masakannya dibeberkan dalam kitab al-umm misalnya.
Kalau anda punya dasar ilmu masak, maka tak mustahil anda bisa kreatif menghasilkan beberapa jenis masakan. Bahkan anda berpotensi bisa menemukan masakan baru. Tetapi kalau kita Cuma bisanya hanya menikmati masakan, maka sampai kapanpun kita akan jadi tukang cicip dan "mbadog" saja.
Maka sebenarnya yang patut dikuasai lebih dulu bagi para santri adalah ilmu ushul fikih, daripada fikih. Yang penting bukan tahu menyebutkan ini masakan padang, ini rica-rica, itu gule kepala ikan, Semur Khutuk, itu Soto Kudus, Soto Lamongan. Tetapi bisa gak kita menguasai dasar metode memasaknya, sehingga kita bisa menilai bahwa kalau rasanya begini berarti kurang ini, seharusnya caranya begini.
Seperti kasus masakan “fatwa rokok haram.” ratusan ulama diundang hanya untuk menyepakati bahwa masakan “fatwa rokok haram” itu enak. Mereka diundang bukan untuk memasak hukum, tetapi untuk menyepakati dan menikmati tentunya, padahal jelas Rokok itu makruh.
Marilah kita berfikir jernih dan belajar kembali resep "Ushul Fikih" yang sederhana, tetapi cukup bisa dijadikan metode untuk mengambil keputusan hukum. Terutama kaitannya dengan hukum halal haram.
Satu contoh kecil saja bahwa nasi halal apa haram? kebanyakan kita pasti menjawab “halal….”. Kalau saya ditanya maka jawaban saya adalah “tergantung", bagaimana nasi digunakan, untuk siapa nasi digunakan.”
Kalau nasi untuk pengidap diabetes? Meskipun aslinya halal tapi ketika dimakan oleh pengidap diabet maka nasi tersebut menjadi tidak halal dan tidak Thoyyib ( baik).
Pada jaman Nabi lukisan dan patung dilarang oleh Nabi sebab patung, lukisan dan semacamnya dijadikan sarana menuju kemusyrikan dan dijadikan sebagai sarana sesembahan. Hadist yang melarang atas tindakan para pematung jaman jahiliyyah itu bersifat kontekstual bukan tekstual. Jadi jika anda melukis dan berkesenian dan tujuannya bukan untuk kemusyrikan apalagi anda juga tidak menyembah lukisanmu itu ya boleh dan tidak bisa dihukumi haram.
Illustrasi:
Tampak dalam foto Pak Hadi Dahlan ( tidak pakai baju) bersama Mas Hakim di depan tumpukan karya lukisan "Galleri kang Dahlan".
0 komentar:
Posting Komentar