Assiry gombal mukiyo, 18 April 2015
Dalam konsep islam kita mengenal bahwa tangan diatas lebih baik daripada tangan dibawah " yad al 'ulya khairun min yad assufla".
Kita cenderung menjalankan islam setengah-setengah hanya memburu
ritualnya saja, bikin pengajian dimana-mana, sarasehan, dialog keagamaan
dll, tapi ada hal yang lebih penting dari itu semua adalah bahwa agama
bukan hanya ibadah ritual ( saleh individual) tapi juga harus bisa
mengejawantahkan ajaran agama menjadi pribadi yang bisa berbagi untuk
sesama ( saleh sosial).
Saya menitikkan air mata ketika ada seorang penarik becak
miskin yang bukan seorang Muslim justru mampu menyekolahkan 300 anak
miskin dikampungnya. Sebut saja "Bai Fang Li". Masih harum hingga saat
ini di negeri Tianjin, China. Dia adalah si penarik becak yang dikenal
mempunyai hati emas. Cerita kebaikan Fang Li tersohor hingga kini meski
itu telah terjadi 1987 silam.
Semula Bai adalah pensiunan yang sengaja pulang ke
kampungnya. Suatu kali dia melihat banyak anak-anak miskin yang bekerja
di ladang dan sawah.
Dia bertanya kenapa anaknya yaitu Bai Jin Feng" kenapa banyak anak-anak
tidak sekolah didini?". Bai jin Feng kemudian menjawab "Mereka terlalu
miskin untuk membayar uang sekolah".
Setelah itu Bai khawatir dan menyumbangkan uang 5000 yuan untuk sekolah di kampung halamannya itu.
Bai masih merasa tidak cukup untuk membantu anak-anak itu sampai
akhirnya dia memutuskan menjadi penarik becak di umurnya yang sudah 74
tahun.
Anak-anaknya mengingatkan agar Bai tidak menarik becak apalagi pendengarannya sudah berkurang, nasehat anaknya Bai acuhkan.
Selama mungkin Bai mangkal di pinggir rel untuk menanti penumpangnya.
Dia selalu berangkat subuh dan pulang saat sudah gelap lagi. Dia
mengumpulkan 20 sampai 30 yuan perhari. Saat pulang ke rumah dia simpan
uang itu baik-baik.
Kemudian, untuk memperbesar usahanya, memenuhi kebutuhan
anak asuhnya, Bai pindah ke rumah yang hanya mempunyai satu ruang. Rumah
tersebut berada di pinggir rel yang memungkinkan dia melayani penumpang
selama 24 jam. Kesungguhannya makin besar, dia hanya makan makanan
seadanya dan memakai baju bekas yang dia temukan.
Dia tidak pernah lupa untuk memberi uang ke sekolah bahkan
mengomeli anak -anak yang dibiayainya agar benar-benar menyampaikan
uangnya ke sekolah.
Suatu hari, di umurnya yang hampir 90 tahun, dengan badannya yang kian
ringkih, Bai datang ke sekolah Tianjin Yao Hua untuk menyerahkan sekotak
uang terakhir yang bisa dia kumpulkan.
"Saya sudah tidak dapat mengayuh becak lagi" kata Bai
lirih. "Saya tidak dapat menyumbang lagi" sambil gemetar sambil
menyodorkan sisa uangnya. "Ini mungkin uang terakhir yang dapat saya
sumbangkan," ucap dia sedih.
"Saya harap anak-anak bisa terus sekolah yang rajin dan bisa dapatkan
pekerjaan lalu berkontribusi kepada negara kita" pesan Bai.
Pesan Bai ini pun disambut riuh gemuruh tangisan histeris
anak-anak asuh Bai. Di tahun 2005, Bai benar-benar meninggalkan 300 anak
asuh yang dia biayai selama dua dekade. Bai didiagnosa menderita kanker
paru-paru. Sampai akhir hidupnya Bai terhitung telah menyumbangkan 350
ribu Yuan atau sekitar Rp 500 juta.
Sungguh mulia kisah Bai ini. Semoga menjadi inspirasi bagi kita semua
untuk peduli kepada sesama meskipun dalam kondisi yang penuh
keterbatasan.
0 komentar:
Posting Komentar