Di Indonesia, manusia miskin masih sangat banyak jumlahnya. Setiap Pemimpin di negeri ini hampir sudah bisa dipastikan memberikan informasi yang cenderung subyektif dengan berkurangnya rakyat yang miskin ketika dipimpin oleh Presiden tertentu. Biar seolah -olah membuktikan kinerjanya telah berhasil.Apalagi di kota-kota besar, kaum miskin kota berserakan di seluruh penjuru. Negara belum bisa menyejahterakan mereka, walaupun saya optimis pelan namun pasti negara akan memperhatikan mereka.
Saya sangat jarang ngopi di mall-mall kecuali kalau ketemu dengan teman. Sekarang malah tidak perlu jauh -jauh karena saya bisa ngopi semaleman sambil melukis di Arjuna Test & Assiry Gallery di sebelah barat UMK ( Universitas Muria Kudus).
Kalau saya sedang sendiri , menu makan saya selalu warteg dan minum seadanya, kesukaan saya adalah jus buah 5 ribuan dipinggir jalan.Namun ketika bertemu dengan kakek-kakek renta yang berjualan hingga malam hari atau ibu-ibu pemulung yang mukanya hitam mengkilat, saya selalu berusaha mengulurkan tangan dengan memberi 10 sampai 50 ribu bahkan terkadang saya kasih lebih dari itu. Saya jarang sekali memberi pengemis, karena saya memberi kadang cenderung suudzon. Karena saya tahu banyak di antara mereka cuma malas bekerja.
Bukan berarti saya dermawan. Saya hanya kagum atas perjuangan para wanita-wanita tangguh yang berpeluh berdarah menghidupi keluarganya, saya merasa menjerit dan meraung -raung hati saya ketika teringat persis betapa perjuangan ibu saya ketika saya masih kecil bekerja dari pagi hari hingga larut malam sebagai pedagang kecil di Pasar itupun tidak memiliki lapak.
Kalau Bapak bekerja keras di sawah, biasanya sebagian hasilnya baru setelah 3 bulan sekali bisa panen padi dan punya uang. Sehingga tanpa peran Ibu mungkin saya dulu tidak bisa sekolah minimal SMA. Betapa perjuangan mereka adalah "madu" untuk masa depan saya sekarang ini.
Saya sering sesenggukan sendiri dan berlinang air mata ketika seorang kakek paruh baya didepan dagangan lusuhnya yang sebetulnya tidak memungkinkan lagi untuk mencari nafkah tapi dengan kondisi fisiknya yang renta tetap saja bekerja dan tidak menjadikan keadaannya sebagai pembenaran atas dirinya untuk mengemis.
Kepada merekalah kita harus membantu walaupun sedikit, yang punya keperkasaan jiwa untuk tidak mengemis. Mereka berdagang apapun dan memulung apapun, di tengah terik mentari dan derasnya hujan. Belilah dagangan mereka walau kita tidak butuh, hanya untuk sekedar alasan untuk memberi mereka sedikit bantuan agar mereka tidak malu diberi uang tanpa berbuat apa-apa.
Uang 20 ribu atau bahkan 30 ribu mungkin tidak ada apa-apanya buat kaum menengah dan berpendidikan di kota-kota besar, digemerlapnya kota yang menyilaukan rasa humanisme yang mulai bias. Harga kopi Starbucks pun lebih mahal dari itu. Tapi uang itu akan sangat berharga bagi mereka.
Duh Gusti.....Sebagaimana saya pernah melihat seorang Ibu pemulung dan anaknya yang hanya membeli sayur seribu rupiah di warteg karena tidak mampu membeli nasi dan lauk lainnya.Jika anda semua para kaum menengah dan berpendidikan berempati kepada mereka, niscaya kemanusiaan akan terasa lebih indah adanya. Negara memang belum mampu merawat rakyatnya, tapi sesama manusia kita harus merawat kemanusiaan kita.
0 komentar:
Posting Komentar