Sekali-kalinya dalam sejarah Islam bisa lebih maju dari peradaban Barat adalah di masa dinasti Abbasiyah Baghdad abad 9 dimulai dari Sultan Harun AlRasyid, dilanjutkan oleh Al-Ma'mun dan kemudian Al-Mu'tasim. Periode ini sering disebut oleh umat Islam namun sangat jarang ditelaah kenapa bisa lebih maju dari Barat. Cuma dibanggakan tapi miskin analisa mendalam mengenai sebab-sebab kemajuan.
Jaman itu umat Islam sangat terbuka, belajar darimana saja, mereka mendatangkan ahli matematika dan kedokteran dari Hindu India dan dikembangkan di Baghdad, mereka belajar filsafat Yunani dari Plato, Aristoteles, Socrates, sampai matematika Archimedes. Baghdad adalah kota tujuan bagi imigran dari seluruh penjuru dunia, diterima dengan tangan terbuka.Dan yang tak kalah penting, Islam yang dipeluk oleh umat Islam Baghdad kala itu adalah Islam progresif, Islam Mu'tazilah yang bahkan Islam Liberal pun masih kalah progresif. Bayangkan di kala itu, 1200 tahun lalu lebih, Islam rasional yang dipegang oleh Sultan Al-Ma'mun dan Al-Mu'tasim bahkan lebih maju dari Islam Sunni, Syiah, Khawarij. Islam yang seperti kata Sukarno, penuh ilmu pengetahuan dan ghirah peradaban.
Namun kita lihat sekarang, Islam rasional banyak ditentang, bahkan Islam liberal saja sudah dijadikan musuh bersama mayoritas umat Islam, apalagi Islam Mu'tazilah yang lebih rasional dan progresif. Menurut Sukarno lagi, lebih banyak kejumudan beragama, Islam sontoloyo, Islam yang bermegah-megah dengan yang trivial bukan yang substansial. Islam yang cuma ribut khilafiyah, bukan yang mengejar sains dan teknologi.
Jadi jangan pernah bermimpi Islam akan bangkit, karena sekali-kalinya Islam bangkit, itu sudah lebih dari 1200 tahun lalu, dan bangkitnya pun mayoritas umat Islam masa kini alasannya tidak tahu menahu. Semua peradaban bangkitnya pasti dari teknologi dan ilmu pengetahuan, dan saat ini peradaban yang punya keduanya adalah Barat, disusul Cina, Asia Timur, dan lalu negara-negara Islam di urutan paling terakhir.
Tak salah jika Sukarno sangat gusar dan masygul terhadap perkembangan Islam, termasuk Muhammad Abduh yang juga melihat Islam lebih diterapkan di Eropa daripada di negara Islam sendiri. Tapi apakah Islam akan bangkit? Jawabannya masih terlalu jauh, revolusi paradigma massif harus digerakkan, perbedaan rawan konflik Sunni Syiah harus dipadamkan, dan teknologi dan sains harus ditaklukkan, sebelum itu terjadi kebangkitan Islam hanyalah mimpi yang terlalu amat panjang.
Untuk menjadi Islami , tidak perlu menjadi negara Islam. Islam itu input, bukan output. Bahkan konsep negara madinah ala Nabi Muhammad pun sebenarnya bukan konsep negara agama, tapi negara yang terdiri dari suku/ kabilah dan pemeluk agama yang berbeda tapi hidup rukun karena disitu hidup dengan tenang umat Kristen, umat Yahudi, dan umat Badui yang dilindungi oleh Nabi Muhammad SAW.
Kerja keras para Sesepuh pendiri Bangsa dan Ulama NU seperti Hadratussyekh Hasyim Asy'ari, Wachid Hasyim, Gus Dur dan Said Aqil Siraj dll, adalah salah satu upaya mengintegrasikan Islam sebagai input kebangsaan, outputnya adalah rahmatallilalamin. Tidak hanya integrasi struktural, tapi juga integrasi kultural. Bahwa agama turun dengan konteks, bahwa agama harus senantiasa direinterpretasi dengan konstelasi kontemporer. Subhanallah.
Islam bukanlah hukum ruang hampa, tapi seharusnya menjadi ghirah inklusif kebangsaan. Generasi muda harus berani menabrak konvensionalitas dan rigiditas sebagaimana dicontohkan oleh para sesepuh NU.
Mungkin sekarang saatnya mengganti kitab-kitab kuning dengan kitab-kitab digital, saatnya mendatangkan modernitas teknologi dan sains di pesantren dan madrasah.
Saatnya mengejar peradaban, saatnya merangkul umat Kristen, Konghucu, Hindu, Buddha, Ahmadiyah, Syiah, dengan sejuk. Islami itu bukan kata-kata, tapi perbuatan. Islam itu kemajuan, bukan kebodohan dan kebencian yang ditebarkan kemana -mana.
Marilah kita melihat kembali masa kejayaan Islam di Baghdad abad 9, ahli kedokteran dan matematika Hindu didatangkan dari India untuk membangun sistem kesehatan dan rumah sakit. Literatur Yunani diterjemahkan dalam bahasa Arab dan dijadikan rujukan filsafat Islam. Ketika umat Islam terbuka pikirannya, belajar darimana saja maka peradabannya menjadi maju. Ketika sudah tertutup dan fatalis sejak abad 12, sejak itulah Islam mundur dan mengambil peran marginal dalam percaturan dunia. Pencerahan Islam harus dimulai dari sains, bukan sains palsu ala Harun Yahya, tapi sains fisika, biologi, teknologi, matematika.
Islam sekarang terkotak kotak...pemahaman tentang islam telah dijerumuskan oleh ulama dan umaro yg sesat sehingga subtansi islam sebagai rohmatan lil alamin sirna. Islam sekarang hanya terfokus urusan perut, bukan untuk sains dan teknologi. Cara pandang umat islam terbelenggu oleh batasan pemahaman tentang islam itu sendiri.
Sederhanya bukan hanya ISLAM ( Isya, Subuh..Luhur..Asyar..Magrib) saja yg dikerjakan.Tapi galilah kembali Al Quran yg maha LUAS...gali hadist..gali kitab/ buku pengetahuan yg bermanfaat.Umat Islam sekarang itu sangat aneh, sudah tahu Hurgronje itu anti Islam, ingin menghancurkan Islam dengan mereduksi Islam menjadi sekedar ritual sholat, haji berkali -kali, puasa, dzikir. Dia ingin Islam hancur dari dalam, Islam yang buta peradaban dan mengagungkan kuantitas tanpa kualitas.Tapi malah umat Islam dengan senang hati masuk perangkap Hurgronje, dimana-mana demam dhaurah, istighosah yang tujuannya kadang menarik massa dan untuk kepentingan pribadi pimpinan jamaahnya, dzikir massal kemudian nangis kolektif, ribut khilafiyah sepele entah soal muulid atau tahlil dan syirik, dsb.
Kepala umat Islam harus dihantamkan dan dibenturkan kepada tembok realita, atau kalau perlu dijedotkan juga di jalanan biar muntah racun yang ada dalam otaknya bahwa mereka jatuh terlalu dalam dalam lembah nista adu domba kolonialis modern yang mengalahkan sendi Islam sampai titik nadir.
0 komentar:
Posting Komentar