Assiry gombal mukiyo, 10 November 2014
Kultur tidak sehat tersebut melahirkan kebiasaan organisasi tandingan dan tidak menghormati lagi kebiasaan bermusyawarah. Keadaan seperti ini agak parah, tidak sehat, dan membentuk kultur politik yang tidak baik.
Asal tidak puas entah apa saja itu lalu membuat tandingannya. Ketika pacar anda menikah kemudian membuat resepsi pernikahan besar -besaran meskipun dengan beaya "ngutang" dengan orang lain lantas anda juga membuat resepsi pernikahan tandingan seketika itu juga. Tidak penting apakah mempersiapkan pernikahan pada skala mikro dan makro Rumah tangga untuk jenjang yang matang atau tidak. Sudah ada calon pengantinnya yang betul -betul klik atau tidak yang penting membuat gebrakan dengan membuat acara tandingan yang sama. Sehingga suami atau istri yang diputuskan untuk acara tandingan tersebut justru mengecewakan anda karena ternyata ketika sudah sah menjadi pasangan hidupmu dia justru tidak memiliki segudang cinta yang anda impikan sebelumnya atau mungkin karena dapatnya dadakan sehingga ternyata calon pasangan anda itu kudisan atau misalnya kutilan dibagian intimnya.
Coba kalau semua dipersiapkan dengan matang tidak akan mungkin terjadi yang demikian.
Hal ini merupakan sikap yang akan menimbulkan fragmentasi di kalangan masyarakat.
Budaya tandingan sebenarnya sehat asalkan argumentatif berada dalam manajemen konflik sebagai mekanisme keseimbangan. Tapi masalahnya budaya tandingan yang timbul itu murni tandingan atau bukan. Dan yang sering timbul adalah kegelapan yang tidak jelas.
Dalam mengatasi budaya tandingan, yang dibutuhkan bukan keberpihakan kepada masing-masing atau salah satu pihak seperti terjadi selama ini. Dan selama ini belum pernah ada yang berinisiatif untuk mengatasi budaya tandingan itu dengan kearifan tanpa keberpihakan.
0 komentar:
Posting Komentar