Pada tahun 2014 ini, laporan resmi pemerintah menyebutkan 780.000 lulusan diploma dan sarjana berbagai disiplin menjadi pengangguran. Mereka lulus studi namun gagal mendapatkan pekerjaan. Apa yang salah sehingga para sarja kita menganggur?
Pendidikan nasional sampai detik ini masih berorientasi pada konsep kelulusan dengan nilai IPK (indeks penilaian kumulatif) tinggi. Para lulusan telah ditanam cara berpikir bahwa belajar yang baik adalah meraih nilai IPK paling tinggi dan selesai studi cepat.
Nilai IPK tinggi tentu saja tidak salah, namun itu hanya salah satu persyaratan saja bagi para pembelajar di lembaga pendidikan. Sayangnya, tidak sedikit para pengajar menuntut para anak didik meraih nilai IPK tinggi dan selesai cepat saja. Mereka mengabaikan unsur-unsur penting yang sangat dibutuhkan paska kelulusan.
Unsur-unsur penting tersebut adalah kualitas kepemimpinan, kreativitas dan keterampilan. Bagi mahasiswa Nilai IPK tinggi itu penting namun hanya akan bermakna kosong apabila para lulusan tidak memiliki kualitas kepemimpinan.
Tiga unsur penting tersebut, selain IPK tinggi, membutuhkan interplay antara pengajar dan peserta didik. Peran pengajar, baik guru dan dosen, semestinya mampu memfasilitasi para mahasiswa lulus ber-IPK baik, memiliki kualitas kepemimpinan, kreativitas dan keterampilan lebih.
Sayangnya, masih banyak pengajar yang tidak peduli. Mereka hanya menuntut para peserta didiknya bisa menghafal teori, menyelesaikan tugas kuliah, dan selesai kuliah sesingkatnya. Sikap tersebut selain dipengaruhi regulasi seperti Permendikbud No 49 yang mengharuskan mahasiswa selesai maksimal 5 tahun, juga kepedulian yang kurang melimpah.
Para pengajar merasa cukup datang ke ruang pendidikan, membaca presentasi power point yang harus diingat peserta didik, dan bahkan tidak menawarkan informasi baru. Ujian semester hanya berkisar hafalan, penggunaan rumus-rumus, dan menulis sebagaimana apa yang dikatakan pengajar. Proses ini serupa mesin 'one dimension man' yang melahirkan manusia-manusia robot, tidak hidup kreatif dan berani menciptakan kebaruan.
Kondisi ini harus dijawab oleh pemerintah dengan tidak hanya membanjiri lembaga pendidikan dengan kurikulum. Namun meningkatkan kualitas metode kepengajaran para pengajar, guru dan dosen.
Saya sendiri berjuang melawan peluh dengan mendirikan Pesantren Seni Rupa dan kaligrafi PSKQ dengan konsep intrepreneurship( kewirausahaan), kemandirian dan mengolah kreatifitas sekaligus menaburi garam estetika dari berbagai olahan media yang ada.
Harapan saya simple, saya ingin kader -kader alumni PSKQ bukan menjadi "sampah" yang terbuang di seonggok keterpurukan karena "nganggur".Target dan tujuannya adalah mereka para alumni bisa menciptakan lapangan pekerjaan dan membuka lapangan pekerjaan tersebut seluas -luasnya.
Malu dung masak sarjana ko "nganggur". Mustinya Jika saya memiliki perguruan tinggi cabang PSKQ Modern entah kapan itu, maka Sarjana -sarjana lulusan Kampus PSKQ Modern tersebut saya pastikan tidak akan diberikan gelar sarjana jika belum bisa menciptakan lapangan pekerjaan sendiri sebagai sarat pengganti IPK.
Skripsinya juga bukan membuat semacam tulisan "Copas" mahasiswa -mahasiswa dari kampus lain asal tidak ketahuan. Tapi membuat kumpulan karya yang diberikan standar jaminan kualitasnya kemudian "dibukukan" dibuat semacam buku pengganti Skripsi.
Sarat utama untuk menentukan kelulusan dan memberi gelar akademik yang kita sebut (Mas/Mbak Sarjana) adalah aplikasi ilmunya betul -betul teruji apa tidak. Soal IPK urusan no 59 karena bisa penting atau tidak, toh faktanya IPK tinggi ternyata bukan jaminan seorang Mahasiswa sukses setelah lulus dan menerima mahkota gelar Sarjana.
0 komentar:
Posting Komentar