Pada suatu pagi ketika saya cek keuangan bulanan di Resto PSKQ, sekitar 2 bulan yang lalu. Ternyata uang saya yang sedianya untuk menambah sebuah asrama Pesantren dan sebagian dana untuk membangun Resto digelapkan oleh dua orang partner kerja saya. Padahal mereka berdua yang betul -betul saya berikan mandat dan saya percaya, sebut saja Lek DAR dan Lek Kom. Meskipun tidak genap100 jt yang diambilnya, tentu uang itu bisa dipakai untuk kelancaran pembangunan asrama dan usaha tersebut bukan digunakan untuk kesenangan pribadi mereka berdua.
Sebagai manusia normal, saya marah. Tapi terus terang ini tidak konsisten dan tidak rasional. Memang tak pernah saya cek sebelumnya karena saya sudah percaya. Bahkan jika ada orang lain yang saya kasih mandat yang sama pun juga gampang sekali memnfaatkan kemudahan -kemudahan yang saya berikan. Karena terkadang memberikan uangpun saya tidak selalu memakai kuitansi sebagai tanda bukti.. Jadi, kalau uang saya hilang, itu logis dan realistis.
Tapi saya tak peduli. Saya telpon dua orang partner saya tersebut, sambil berdiri bertolak pinggang menghadap ke arah karyawan 2 Resto dan sambil berteriak: “Kalau uang saya tidak sampean kembalikan secepatnya, saya tidak bertanggung jawab kalau ada orang pengkor satu kakinya, cekot sebelah tangannya, atau pethot mulutnya”.
Semua karyawan Resto di sekitar saya kaget dan terkesiap sejenak. Tapi saya segera masuk Ruangan kamar Resto yang belum jadi dan tidur lagi di dalam.
Sore harinya , Lek Dar berani jantan datang ke Resto. Seorang yang sudah tua tapi bergaya muda dengan berpakaian celana pendek selutut dengan topi dibalik berdiri dengan wajah cemas didepan saya.
Ketika saya menatapnya, ia menunduk. Saya langsung bertanya.
"To the point saja Mas, bagaimana jluntrungnya sebagian uang dana resto dan asrama ko ternyata sampean ambil itu dan untuk apa ?"
“Maaf, Mas…” ia menjawab tersendat, “saya mengambil uang Sampeyan itu. Saya minta maaf sekali Mas. Sekarang saya belum bisa kembalikan, karena habis untuk membayar hutang pribadi saya dengan seseorang kawan dan selebihnya untuk foya -foya, mendhem dan main Karaokean dengan seorang PK."
“Lho, kenapa ko sampean ngga ngomong sebelumnya kalau mau di pakai untuk membyar hutangmu padahal sudah jelas diawal kalau saya ngasih uang itu untuk bikin Resto dan Asrama, apalagi malah sampean kasih ke PK untuk Karaokean?" Saya bertanya lagi."Padahal itu bukan uangmu tapi uangku".
“Iya, siih….” jawabnya, "tapi saya bertanggung jawab mengembalikan ko Mas, tapi aku ndak tau kapan mengembalikannya, karena aku sudah tidak punya uang sama sekali Mas, Motor saja Kredit Mas telat lagi saya bayarnya"....Keluhnya.
" Ya aku hargai kejujuranmu, ya sudah tolong meskipun akibat dari perilakumu yang seperti itu telah membuat saya tersendat dan terseok usaha saya dan mengorbankan banyak orang, termasuk asrama untuk santri juga belum jadi, tapi tolong uang itu segera dikembalikan kalau sudah ada duit !".
"Saya sudah ikhlas meskipun berat rasanya, kamu sudah tidak berdosa meskipun urusan jajan " PK" itu dosa tapi itu urusanmu sama Allah. Sedangkan soal uang itu urusannya sama saya. Dan, ketahuilah Insya Allah, kalau yang kamu pakai adalah barang halal, rejekimu akan berkah. Kalau tadi, niat kamu mencuri atau menipu, maka kamu berdosa. Kamu dikutuk Tuhan, saya tidak mendapat apa-apa kecuali kemarahan . Sekarang semua sudah halal dan baik, meskipun saya sendiri akhirnya ikut "mumet" kepala saya karena ulahmu, Semoga Allah menambah rezekimu dan meringankan hidupmu.”
Dia bengong dan pamit pulang.
Dengan dua macam lalu-lintas pindahnya suatu barang dari dan ke subyek yang sama, nilainya menjadi berbeda. Kalau saya memakai kalkulasi ekonomi dunia, maka saya rugi kehilangan uang meskipun kejelasan uang akan dikembalikan tapi tidak tau pastinya, bisa saja malah memang tidak akan pernah dikembalikan. Maka saya pakai teologi manajemen dunia akhirat, sehingga beralihnya uang saya ke tangan partner saya itu tidak membuat saya betul -betul kehilangan. Malah saya laba banyak, bukan hanya pahala di akhirat, tapi Allah juga menjanjikan rezeki berlipat ganda, entah berupa apapun, terserah Dia saja. pokoknya la in syakartum la ‘azidannakum.
Tentu setiap orang memiliki hak untuk bersikap sesuai kadar kemampuan dan kesabarannya sendiri -sendiri.
Kita tidak bisa menyalahkan seseorang yang merasa memiliki hak yang belum anda bayarkan misalnya, meskipun hanya uang ratusan ribu sehingga mengancam dan terkadang berkata kasar.
Saya ini bukan kaum terpelajar, baik di sektor Salafiyah dan Kitab Kuning, maupun di sektor persekolahan modern atau kampus. Jadi saya tidak tahu banyak mengenai banyak hal. Tetapi dengan segala keawaman itu saya haqqul yaqin dan ‘ainul yaqin bahwa apa yang saya pahami, sikapi, dan lakukan dalam hal uang itu adalah konsep teologi Islam.
Apapun saja yang saya lakukan di muka bumi ini, sejak pagi hingga pagi berikutnya, ketika berada di timur atau barat, tatkala berjaga, atau mengantuk, sebisa-bisa saya tumbuhkan di atas kesadaran dan konsep teologi yang segamblang-gamblangnya.
Kalau saya menjumpai sebatang kayu melintang, saya sisihkan ke pinggir supaya tidak menyandungi orang lewat. Kalau mungkin, saya akan pakai ia untuk menyangga sesuatu atau untuk apapun yang bermanfaat. Konsep teologi saya adalah bahwa segala yang di depan saya itu merupakan amanat Allah untuk saya Islamkan. Di-Islamkan artinya diubah dari kemubaziran atau kemudharatan menjadi kegunaan dan kemashlahatan.
Ingatan, kesadaran, dan formula konsep teologi itu harus terus-menerus saya cari, saya pahami, dan saya terapkan. Dan itu berlaku untuk pekerjaan yang kecil maupun yang besar. Untuk soal rumput di halaman rumah sampai soal pekerjaan sejarah besar yang menyangkut kebudayaan masyarakat.
Saya menyuapi mulut saya dengan nasi tidak karena saya ingin makan, melainkan karena saya wajib memelihara kesehatan badan yang dimandatkan oleh Pencipta saya. Saya mencangkuli tanah dan menanam sesuatu bukan sekadar karena saya menyukai keindahan, melainkan juga karena saya bersyukur dan takjub: kok ya ada di dalam hidup ini yang namanya tanah, kesuburan, serta biji yang kalau ditaruh di situ lantas tumbuh dengan penuh keajaiban.
Saya berangkat tidur pada jam tertentu bukan karena saya ingin menikmatinya, tapi karena saya wajib bergabung ke dalam irama sunnatullah yang menyangkut badan dan jiwa saya. Saya bersedia pulang ke rumah saya di gubug PSKQ dan mengajar apapun yang saya bisa ajarkan bukan karena itu karir saya atau profesi saya agar mendapatkan keuntungan duniawi, karena saya tidak punya karir dan tidak peduli profesi. Tapi itu adalah wujud syukur saya kepada Tuhan yang telah melimpahkan segala anugerahNya kepada hidup saya.
Saya lakukan itu semua karena, sebab pertama, saya ini aslinya tidak ada, kemudian Allah mengadakan saya, ia satu-satunya yang berhak atas saya, dan karena itu segala yang saya lakukan bergantung pada kemauan-Nya. Saya diberi wewenang oleh-Nya untuk berkemauan, tapi saya tidak pernah percaya bahwa kemauan saya atas diri saya dan dunia ini akan pernah lebih baik dibanding kemauan Tuhan atas diri saya dan dunia ini. Oleh karena itu saya tidak berani melepaskan apapun sampai yang sekecil-kecilnya dan seremeh-remehnya, dari pencarian pengetahuan tentang apa yang kira-kira dimaui oleh Sang Konsultan Agung Allah SWT itu.
Kalau saya punya iradah, harus saya sesuaikan dengan amr-Nya. Terkadang cocok, terkadang tidak. Terkadang benar, terkadang salah. Tapi, apapun yang terjadi, iradah itu harus saya lakukan dengan menggunakan qoul-Nya supaya produknya adalah kun fayakun. Saya tidak banyak mengerti ilmu di alam semesta ini. Jadi hanya itulah yang saya pahami sebagai konsep teologi.
Maka, sebab kedua, orang-orang yang memintaku untuk melakukan segala macam pekerjaan itu — ya berkesenian, ya keagamaan, ya mengajar Kaligrafi, ya bisnis ekonomi kecil -kecilan , ya pengobatan, ya konsultasi kejiwaan, ya segala macam jenis partisipasi dan sumbangan sosial — tidak bisa saya yakini bahwa kemauan mereka itu benar-benar terlepas dari kemauan Tuhan. Saya harus berspekulasi dan bersangka baik bahwa mereka adalah penyalur amanat Tuhan kepada saya.
Jadi, apa saja, dari makan rujak sampai bikin ABRI, tidak berhak dilakukan oleh manusia yang memiliki hubungan vertikal total dengan Allah — tanpa memberangkatkannya dari ingatan, kesadaran, dan konsep teologi yang jelas.
Dengan kata lain, tak perlu menunggu mau bikin partai Islam dulu baru berpikir tentang konsep teologi. Bikin mesjid, bikin perusahaan, bikin Golkar, bikin negara, bagi orang yang ber-Tuhan, ada keberangkatan dan titik tuju teologisnya.
Ketika berpakaian sekular, ketika berbusana Muslim, ketika berformalisme Islam, ketika berkultur-kultur Islam, ketika Islam formal dipakai atau disembunyikan, ketika Islam diletakkan di kultur thok, atau juga di politik resmi, semua terikat pada penyikapan teologis. Apalagi yang namanya Partai Islam, harus terutama dilihat secara substansial: bisa saja namanya Partai Kodok atau Partai Embek, tapi yang kita lihat adalah apakah substansi kerjanya Islam atau tidak. Hanya orang-orang yang tradisinya berpikir simbolik yang menyangka bahwa partai Islam hanyalah partai yang memakai nama dan kata Islam.
Saya sering menyayangkan segelintir orang yang mengatas namakan islam tapi merusak nilai -nilai ajaran islam yang rahmatan lil 'alamiiin.
Kita juga musti jujur dan menerima jika ternyata tidak sedikit orang -orang yang bukan islam tapi justru menjalankan sariat islam yang cinta damai.
Tinggal kita lihat konsisten atau tidak, istiqamah atau tidak.
0 komentar:
Posting Komentar