Muhammad assiry jasiri, 2 Mei 2014
Muka pendidikan kita masih terasa
sakit karena ditampar bahkan diludahi oleh kasus JIS. Ini membuktikan bahwa
ternyata pendidikan yang super lux dan mahal tidak menjamin kualitas pendidikan
tersebut baik. Yang buruk bukan JIS nya tapi manusianya yang perlu dimasukkan
bengkel pendidikan karakter atau kepribadian. Bagi yang sudah menjadi tersangka
dalam kasus pecabulan anak tersebut harus ditindak tegas agar ada unsur jera.
Bukan malah Sekolahnya yang mau ditutup, kalau sudah ditutup apa menjamin
kejadian serupa tidak terulang kembali?
sebuah pisau yang digunakan oleh manusia untuk melakukan pembunuhan, apakah
kemudian pisaunya yang diharamkan. Pisau hanya sebuah sarana yang dapat
bermakna positif atau negatif tergantung pemakainya.
Sebab ketika pisau digunakan
memotong daging untuk keperluan memasak saat sahur atau berbuka, pisau itu
dengan sendirinya akan bermakna positif dan bertolak belakang ketika digunakan
untuk membunuh anda misalnya.
Seperti halnya situs jejaring sosial (facebook), apakah lantas facebook
diharamkan ketika digunakan pemakainya untuk melakukan perselingkuhan dan
tindakan negatif lainnya.Bukan JIS yang harus disalahkan JIS itu sarana
pendidikan ,jika ada kasus pencabulan bukan berarti JIS juga cabul.
Dalam Islam, konsep pendidikan
terangkum secara jelas dan gamblang. Kata pertama yang turun (dalam Al-Qur’an)
adalah Iqra’, kenapa? Yang biasa disuruh membaca itu siapa? Membaca itu dalam
pengertian yang lebih luas ya moco nulis (membaca dan menulis). Artinya, hidup
itu pendidikan. Jadi urusannya itu nanti lulus apa nggak lulus. Makanya puasa
itu pendidikan radikal (revolusi), sholat pendidikan kultural (evolusi). Kenapa
pendidikan? Karena ‘Nama’ Tuhan yang paling utama itu Robbun, kemudian kita
mengenal kata tarbiyah. Nah, jadi seluruh jalur ilmu itu nanti (seharusnya)
menuju pada Allah, jadi tidak boleh ada pemisahan-pemisahan ini ilmu agama dan
ini ilmu umum. Jadi sesungguhnya jika kita mau "ngelmuni" ayat
kauniyyah (tentang alam semesta) dan ayat quliyyah (kalam Allah melalui kitab
suci) tentang apapun keilmuan entah tentang ilmu kelautan, ilmu kehutanan,
sosial, kimia, teknologi, bhkan seni itu juga ilmu agama karena selalu Allah
yang mnjadi muara utamanya.
Kecenderungan manusia sekarang yang
lebih condong mencari segala sesuatu yang sebenarnya akan ditinggalkan.
Cita-cita sesungguhnya mayoritas manusia masa kini adalah uang. Menjadi
presiden, menteri, pejabat negara, DPR, dokter, ulama atau apa saja itu hanya
pura-pura, karena tujuan
sebenarnya adalah uang. Kalau orang ditanya apa cita-citamu? Lalu ia menjawab
"dokter" itu sebenarnya tidak berhenti disitu. Dokter disitu karena
dipandang pekerjaan itu akan cepat menghasilkan banyak uang. Begitu pula dengan
profesi dan pekerjaan lain. mindsetnya adalh uang, ujung -ujungnya duit (UUD).
Yuk kita cermati ide konsep awal
pendidikan dengan belajar dari ayat-ayat Allah. Ayat Allah itu banyak yang
terhampar (mutasyabihat) dari pada yang tercatat. Nah, dari situ lalu kita
bertanya, lebih utama mana fakta atau ilmu? tentu jawabnya adalh ilmu, karena
Tuhan ingin kita belajar membaca alam seisinya artinya mau belajar bagaimana
mengolah dan memberdayakannya. Contoh kecil saja tanpa kita mengetahui ilmu
kelautan bagaimana mungkin kita bisa mengolah dan juga menjaga kelestarian
makhluk 2 hayati yang ada di dalamnya entah terumbu karang, jutaan jenis ikan
dan milyaran kekayaan yang dihamparkan Allah, dan ini mnjadi PR besar buat
kita, karena yang terjadi lautan kita rusak dan tercemari oleh gas -gas
industri dan gunungan sampah.Inilah wajah murah kelautan Indonesia.
Penciptaan manusia itu diawali oleh
suatu “skema” atau ide tertentu dari Tuhan. Maka kemudian kita harus bertanya,
apakah seluruh sistem pendidikan kita sudah punya kesadaran untuk memahami
kehendak Tuhan atas setiap individu manusia? Didasari oleh cara berfikir
seperti ini, bahwa tugas guru sesungguhnya adalah menemani siswa/murid agar
ingat atau menemukan dirinya sebagaimana yang dikehendaki oleh Tuhan. Tapi
justru masalahnya pendidikan sekarang cenderung menambah lupa anak pada
dirinya.
Terkadang kita sebagai orang tua
seringkali menjadi “penjajah” bagi anak kita sendiri sebab kita terlalu
memaksakan sesuatu/menginginkan anak kita menjadi sesuatu tanpa memperhitungkan
bakat, minat dan hak anak untuk tumbuh sebagaimana potensi yang dimilikinya.
Betapa banyak orang tua yang memaksa anaknya jadi polisi misalnya, meskipun
harus mengeluarkan beaya masuk lewat cukong -cukong dengan beaya yang
fantastik. Ini secara tidak langsung orang tua metestui anaknya terjebur
kedalam kubangan kolusi dan inilah cikal bakal korupsi bagi si anak ketika
kelak mnjadi Polisi.
Bandingkan dengan Finlandia, yang
menjadi pusat perhatian dunia berkat keberhasilan sistem pendidikannya. Dalam
hal pendidikan, Pemerintah menyokong penuh dalam hal anggaran dana. Namun, hak
menentukan kurikulum dan cara pengajarannya tetap ada pada tangan guru yang
mengajar. Hal ini jelas, bagaimana pemerintah tahu kualitas sebuah sekolah jika
pemerintah hanya mendapat data tertulis? Sementara, guru sekolah meluangkan
hampir seluruh waktunya untuk murid-muridnya. Di Finlandia juga, guru merupakan
profesi yang sangat dihargai meskipun dengan gaji yang dinilai pas-pasan.
Bedanya dengan Indonesia, untuk menjadi guru di Finlandia, harus masuk sebagai
10 lulusan S2 terbaik. Sistem ujiannya juga berbeda. Siswa memiliki hak
sepenuhnya untuk melakukan ujian, kapan dia merasa siap, saat itulah ujian akan
dilakukan. Jika seorang anak tidak berhasil dalam ujian, guru lah yang dianggap
kurang berhasil dalam mendidik, bukan si anak yang harus dicela, dimaki -maki,
dibodoh -bodohin karena dianggap bodoh. Di Indonesia, menjadi pelajar sarat
dengan beban. Mulai dari beban pelajaran yang berat, PR, bahkan sampai
bimbingan belajar diluar sekolah yang seringkali mengedepankan faktor “cari
untung” dalam penyelenggaraannya.
Akhirnya banyak siswa yang gila atau pura -pura gila biar bisa terbebas dari
derita sekolah.
0 komentar:
Posting Komentar