Presiden yang menolak tinggal di Istana dan memilih hidp di ladang dan menempati rumahnya sendiri di lorong tak beraspal dan sehari-hari hanya dijaga dua pengawal di kelokan jalan dan ditemani seekor anjing berkaki tiga yang setia dan ke mana-mana mengendarai sebuah VW kodok tahun 1987 berwarna kusam: ia bukan tokoh sebuah dongeng Amerika Latin. Ia benar ada, di abad ke-21: José Mujica, presiden Uruguay.
Dalam usia 78 tahun, ia, yang dipanggil “Pepe”, seorang kakek rombeng, dengan sepatu usang dan baju acak-acakan. Ia bergaji 20 ribu dollar, tapi 90% dari uang itu ia berikan untuk sumbangan buat orang-orang yang kekurangan. Sisanya praktis senilai pendapatan rata-rata orang Uruguay. Bersama isterinya, Lucía Topolansky, yang juga seorang senator, ia tetap mengolah ladangnya yang ditanami kembang krisan, tanpa pembantu.
Ia tak peduli bila orang menyebutnya pak tua eksentrik. Ia tak mau disebut sebagai “presiden paling miskin di dunia.” Ia punya pengertian sendiri tentang “miskin”. Orang yang paling miskin, demikian katanya, “adalah orang yang punya banyak keinginan.”
Mungkin ia terdengar seperti seorang Budhis yang menganggap hasrat dan lobha (atau “loba” dalam bahasa Indonesia adalah pangkal penderitaan). Tapi orang Marxis (atau bekas Marxis) ini tak inginkan pencerahan. Mungkin ia terdengar seperti seorang pengikut Gandhi yang melaksanakan “hidup di tingkat bawah, tapi pikiran di tingkat tinggi”. Tapi José Mujica bagi saya lebih menakjubkan ketimbang Gandhi.
Gandhi tak pernah duduk di tahta; Mujica justru persis berada di situ. Dengan kata lain, ia berada di ruang kekuasaan dan pelbagai godaannya, sementara Gandhi tidak. Gandhi, yang di masa mudanya seorang advokat yang hidup cukup, memililih kebersahajaan yang ekstrim sebagai pernyataan politik dan spiritual. Mujica tak demikian. Ia tak mengubah dirinya. “Gaya hidup saya adalah konsekuensi dari luka-luka saya,” katanya kepada Jonathan Watts dari The Guardian, akhir tahun lalu. “Saya anak sejarah saya sendiri.”
Luka dalam sejarah itu cukup banyak; juga secara fisik. Sejak awal 1960-an ia bergabung dengan gerilya Tupamaros yang merampok, menculik, dan mendapatkan uang tebusan untuk dibagi-bagikan kepada rakyat yang melarat. Pada 1970 ia ditangkap buat pertama kalinya. Ia melarikan diri dari Penjara Punta Carretas dengan menggedor pintu bui. Sejak itu ia beberapa kali kena tembak: ada enam luka di tubuhnya. Pada 1972 ia ditangkap dan disekap selama 14 tahun. Dua tahun di antaranya ia dikungkung di dasar sumur, tempat ia, agar tak jadi gila, berbincang dengan kodok dan cengkerik.
Mungkin itu sebabnya ia berkata, “Bertahun-tahun saya cukup bahagia dengan hanya memiliki sepotong kasur.” Dan kini rumahnya pun cuma punya satu kamar tidur. Tak perlu lebih; tak ada orang lain yang tinggal. Presiden dan Ibu Negara Uruguay mencuci pakaian mereka sendiri. Orang bisa melihatnya dijemur di gantungan di halaman.
“Pepe” tak menganggap kesederhanaan itu harus diajarkan kepada orang lain. “Kalau saya minta orang lain hidup seperti ini, mereka akan bunuh saya,” katanya. Tapi ia sadar, seperti Gandhi: bila semua orang mengembangkan kebiasaan hidup berlebihan, bumi yang hanya satu ini tak akan memadai — dan akan rusak dieksploitasi tanpa henti. Ia pernah berkata: “Cukupkah sumber kekayaan planet ini jika sebagian besar orang hidup dengan konsumsi setingkat penghuni negeri kaya?”
Dalam hal itu, cara hidupnya adalah perjuangan gerilya yang panjang melawan kecenderungan komsumtif — ketika Pasar demikian berkuasa dan manusia seperti kerbau dicocok hidungnya. Ia tetap melihat mala yang datang dari kapitalisme, tapi ia bukan seorang Marxis lagi ketika tak membayangkan sebuah akhir sejarah di akhir revolusi. “Dunia selamanya akan memerlukan revolusi”, katanya. Revolusi tak berarti harus dengan kekerasan. Ajaran Konghucu dan Kristen itu revolusioner, kata bekas gerilyawab bersenjata ini.
Tak aneh. Hidup dalam praxis bertahun-tahun, Pepe tak bisa setia mati kepada doktrin. Dalam lakunya selalu ada semangat pembebasan, tapi ia gabungkan itu dengan tujuan praktis. Ia undang modal asing, dengan tujuan menumbuhkan ekonomi, agar pemerataan tak berarti pemelaratan. Ia bebaskan jual beli marijuana, dengan tujuan agar kartel narkoba tak bisa memonopoli. Dan ia menjalani hidup yang begitu bersahaja, dengan tujuan ia (dan mudah-mudahan manusia) bisa bebas dari benda-benda.
Di situ ia menghidupkan kembali ethos yang diajarkan agama-agama: hidup dirayakan, tapi nafsu tamak diharamkan. Bedanya: Pepe tak percaya Tuhan. Ia hanya percaya ada rasa keadilan dan kesetaraan dalam sejarah, dan manusia berbuat baik ke arah itu.
_______________________________
Disadur dari berbagai referensi dan dinukil serta diulas sebagian dari tulisan Goenawan Mohammad.
0 komentar:
Posting Komentar