Assiry, 25 November 2013
Kenapa kita terlalu sempit menilai dengn hnya mnganggap bhwa hari guru hnya terbatas untuk guru 2 kita dibngku -bangku sekolah, di halaqoh ilmu ,majlis 2 dakwah dan kampus saja.Padahl apa saja dan siapa saja yg brmuara pada apapun yg diadakan dan di ciptakan Tuhan adalh guru bagi kita semuanya.(iqra'bismi rabbika alladzi khalaqa) .Kita bisa berguru pada seekor ulat misalnya yang bermetamorfosis mnjadi kupu -kupu yang indah setelah beberapa waktu sebelumnya tirakat dalam kepompong. Dengan meneliti dan ngelmuni cara dan perilaku ulat tersebut lahirlah jutaan ilmu yg kita bisa daptkan.Akhrnya ada yang disebut doktor ,profesor dan ilmuwan hanya karena meneliti seekor ulat sebagai ciptaan Tuhan.
Ini tersambung dg konsep bahwa Allah juga memiliki tajalli, yaitu memancarkan sifat-sifatnya pada diri manusia (dalam naturalitas dan kemampuan kreatifnya). Jangn salh sifat 2Nya yang baik itu bisa di pncarkan dan di cahayakan bagi siapapun yg dikehendakiNya, bisa seorang Biksu,Pastur,Romo, atau bhkn juga seorang pelacur sekalipun.Sayangnya, pendidikan selama ini menjauhkan manusia dari tajallallah/tajalliyat ini, bahkan cenderung tidak mempercayainya. Pendidikan terlalu percaya bisa membentuk manusia menjadi seperti yg dirancangnya tanpa mempunyai keterkaitan kesadaran dengan tajalliyat Tuhan tadi.
Belajar mengenai hal-hal mendasar yaitu apa yg menjadikan manusia sebagai manusia. Apa unsur-unsur utama yang membedakan manusia dari yang bukan manusia. Unsur-unsur seperti rasa, pikiran, karsa, hati nurani, dan lain-lain. Ayo kita tegas menunjuk mana dalam diri kita yang merupakan unsur-unsur utama manusia. Kalau kita menyebut pikiran, haruslah jelas mana yang disebut pikiran. Kalau kita menyebut hati, harus jelas mana yang disebut hati. Harus jelas, jangan kabur.Karena unsur-unsur itu mempunyai fungsi. Misalnya hati dan pikiran. Pada case study mengenai kejujuran, pertanyaannya adalah yang jujur itu hati atau pikiran. Tetapi, okay-lah bisa pula kita katakan bahwa jujur itu juga berlaku pada hati dan pikiran. Lalu kita juga harus berpikir tentang apakah jujur ini input atau output.
Selain jujur, apalagi sifat-sifat dari unsur-unsur itu?contoh lainya sifat ikhlas, arif, sabar, dll. Tetapi dengan simulasi ini,dalam soal elementer sekalipun sering kita tidak mengerti persis.
Sebenarnya saya bermaksud sederhana. Keseluruhan sistem yang ada ternyata tidak menghasilkan kehidupan yang baik sebagaimana dikandung dalam kebenaran sistem tsb. Mengapa demikian? Mungkin karena manusianya. Nah, sebut tiga saja apa kerusakan manusia tersebut?serakah dan trlalu bernafsu (terhadap harta, kuasa, wanita) muncul pertanyaan, kok nafsu terhadap harta? Ada hubungannya dengan Gusti Allah nggak? Apakah manusia sedemikian rupa serakahnya sehingga lupa bahwa Allah sebenarnya menjamin hidup mereka. Apakah mereka lupa bahwa Allah tidak membiarkan manusia atau makhluknya akan terlantar tak terpenuhi kebutuhannya.Lalu siapa saja yang serakah. Pejabat? Ulama? Rakyat? Atau siapa?
Pertanyaannya adalh, Apa yang menyebabkan kita tidak berdialektika dengan Allah, bersifat internal atau eksternal? Saya kira sebabnya adalah sebab eksternal, karena sesungguhnya tanpa kitab suci pun, kita punya kedekatan natural kepada Allah, tetapi sejauh ini kita tidak percaya terhadap hal itu karena dibuat demikian oleh hal-hal atau informasi-informasi yang kita terima selama ini.
0 komentar:
Posting Komentar