Assiry gombal mukiyo, 28 September 2014
Untuk menilai apakah suatu kelompok
atau gerakan tergolong khawarij (sesat) ataukah tidak, baik itu ISIS atau
kelompok-kelompok yang sejenisnya, membutuhkan tabayyun dalam mensikapi tiap
gejolak aliran yang muncul.
Dahulu ada kelompok Khawarij yang memfatwakan harus dibunuh 3 orang, yaitu
Sayyidina Ali bin Abi Thalib, Amru bin 'Ash dan Mu'awiyah bin Abi Sufyan,
berkaitan dengan masalah tahkim.
Saat ini memang tidak ada yang
mengatakan dirinya (mengaku) sebagai khawarij, tetapi pemikiran khawarij itu
ada. Cirinya khawarij itu mudah sekali mengkafirkan orang lain, menyesat
-nyesatkan saudara seaqidahnya sendiri, bahkan menghalalkan darah sesamanya
yang tidak sefaham dengan dia.
Ciri lainnya itu, mereka sangat dekat dengan al-Qur'an tapi tidak pernah
melewati kerongkongannya meskipun membaca sampai berderai air mata dan
jenggotnya basah. Bahkan Ibnu Muljam, sering sekali berderai air matanya
tatkala membaca al-Qur'an tetapi dialah pembunuh Sayyidina Ali karena dianggap"
KAFIR".
Tanpa sadar atau tidak lambat laun
agama memonopoli jalan menuju Tuhan, berjumpa dengan Tuhan. ini bukan salah
agama, bagaimana pun juga agama sekedar alat (obyek) yang memaknai dan merubah
tetaplah pemeluknya.
Akibat pemonopolian tersebut jika ada orang yang ingin berjumpa dengan Tuhan
harus, rela atau terpaksa, masuk ke dalam salah satu agama. Bahkan “lakon”
masuknya ke dalam salah satu agama belumlah cukup untuk “membenarkan” jalannya
yang ingin berjumpa dengan Tuhan. Masih terjadi klaim, rebutan bahwa yang
berhak dan paling sohih menjadi “pemandu” adalah hanya Agama “A”, Agama “B”.
Sungguh, manusia tidak memiliki kebebasan hanya sekedar untuk memilih jalannya
menuju Tuhan.
Parahnya jika ada “orang” yang
berada di luar agama, belum atau memang tidak mau memeluk agama, maka
tangan-tangan orang-orang beragama tadi akan segera menuding “orang” ini kafir,
ingkar atau apalah bahasanya sesuai idiom masing-masing agama hanya sekedar
menunjuk “The Other”, itu. Celakanya lagi, orang kafir itu halal darahnya untuk
dilenyapkan. Untuk ditumpahkan agar tidak menjadi ‘rereget” dunia. Inilah
akibat tatkala Tuhan telah dimonopoli agama. Belum lagi antar satu agama dengan
agama lainnya juga terkesan saling curiga, tidak ada kemesraan. Jika ada Pak
Sudiro Yasir yang Muslim sering blusukan ke gereja atau sering boncengan bareng
dengan Mbak Margaretha yang Nasrani, maka seribu pertanyaan di benak
masing-masing pemeluk agama segera berkeliaran: jangan-jangan Pak Sudiro...,
jangan-jangan Mbak Margaretha.., kita benar-benar terkekang dengan
“jangan-jangan”, terhimpit oleh prasangka 2 yang menggunung.
Sebenarnya siapa yang berhak
memberikan predikat “KAFIR” pada manusia lain? Agamakah? Manusiakah?
Jawabannya: ya si empunya manusia itu sendiri. Tuhan yang Maha Esa, Yang Maha
Kuasa lah yang tahu desiran hati manusia, yang tahu keingkaran-keingkaran
manusia yang paling lembut dan tersembunyi sekalipun. Tuhanlah yang memegang
hak ciptanya, bukan yang lain. “Bila engkau tidak mau disebut menyekutukan Dia,
maka jangan sekali-sekali menggusur hak Dia, kecuali kalau kamu memang berniat
mau menyaingi Tuhan semesta Alam...”. kewajiban kita adalah terus-menerus
belajar memahami berbagai macam hal dari ciptaan-Nya, termasuk memahami
ciptaan-Nya juga banyak yang saling bebeda, bahkan lebih ekstrem saling
bertentangan sifatnya, bertentangan jenisnya, bertentangan posisinya,
bertentangan perannya dan sebagainya.
Sayidina Ali bin Abi Thalib
menyatakan bahwasanya dia mendengar Rasulullah saw bersabda: ”Pada akhir zaman
nanti akn muncul kaum berusia muda (ahdasul asnan) berpikiran pendek (sufahaul
ahlam), mereka memperkatakan sebaik-baik ucapan kebaikan, mereka membaca
Al-Quran tetapi bacaan mereka itu tidak melebihi (melampui) kerongkongan
mereka, mereka memecah agama sebagaimana keluarnya anak panah dari busurnya
maka dimanapun kamu menjumpainya maka perangilah mereka sebab dalam memerangi
mereka terdapat pahala disisi Allah pada hari kiamat kelak. ”
Referensi: (Sahih Bukhari/6930,
Sahih Muslim/2462, Sunan Abu Daud/4767, Sunan Nasai/4107 Sunan Ibnu Majah/168,
Sunan Ahmad/616 ).
0 komentar:
Posting Komentar